//KURO//
Aku tak pernah
ingat sejak kapan Kuro ada. Aku hanya tahu dia benar-benar bagian terpenting
dalam hidupku. Saat aku menangis, dia yang memelukku, saat aku marah dia yang
melampiaskannya untukku, dan saat aku ketakutan dia yang akan maju
melindungiku. Hanya dengan memikirkan bahwa dia tak ada di sisiku, sudah akan
membuatku kalut.
“kau gadis yang kuat Lea.
Paling kuat!”
Dia selalu memujiku seperti itu.
“tak apa Lea. Kau sudah
berusaha! Mereka saja yang tidak bisa memahamimu”
Dia selalu membelaku seperti itu.
“jangan gegabah Lea. Kau harus
memahami mereka dulu. Lihat apa yang mereka lakukan”
Dia selalu menenangkanku seperti
itu.
“jangan terlibat dengannya
Lea.”
Dia selalu mewanti-wanti ku
seperti itu.
“biarkan Lea, dia akan mundur
dengan sendirinya”
Kalimatnya selalu meredakan
ketakutanku saat terkena masalah.
“coba bicara Lea. Ini tak bisa
hanya diperhatikan dan dibiarkan”
Dia selalu memberiku solusi,
kapan aku harus bertindak dan kapan aku harus mengamati.
“tenang saja, aku sayang
padamu Lea!”
Dia satu-satunya yang mengatakan
cinta dan menunjukkannya secara jelas padaku.
“kau tidak sendiri Lea”
Dia yang selalu memelukku ketika
aku menangis.
“Heh! Raise up your butt! Then
do something!”
Dia selalu marah jika aku
bermalas-malasan.
“Hmm.. kurasa harus...”
Dia yang selalu menjawab ketika
aku kebingungan soal apa yang harus aku lakukan.
Tapi pada dasarnya, Kuro adalah
keberadaan yang tidak ada.
***
Pagi-pagi
sekali, aku melihat aliran sungai yang begitu deras dari sebuah jembatan.
Orang-orang di kota ini selalu menyebutnya caah. Aliran yang deras dan
tak tertahankan, dia menyapu benda apa saja yang ada disungai dan membawa
dengan paksa ke muara.
Pikiranku sama
derasnya. Aku mengingat kembali semua tentang Kuro, menarik paksa semua
kepingan-kepingan ingatan yang berhubungan dengannya. Kuro sendiri sedang ada
bersamaku, dia terlelap dengan dengkuran keras setelah semalaman menemaniku
menangis sepuasnya. Dia terlihat nyenyak dan damai tertidur di dalam tas
selempangku.
Aku mulai
menyadari, kuro adalah sisi lain dari diriku.
Dia adalah sisi
yang mampu menyimpan luka terbanyak yang aku rasakan, lalu terus menerus
mengingatkanku soal luka itu demi tidak lagi terluka di tempat dan kesalahan
yang sama.
Dia adalah sisi
yang tak bisa mentolerir kekurangan orang lain terhadapku agar aku tak pernah
merasa kecewa.
Dia adalah sisi
yang mampu memodifikasi kebenaran demi membuatku terlihat baik dan baik-baik
saja dihadapan dunia.
Dia adalah sisi
yang mampu menutup rapat emosiku agar tetap bisa tenang dan tegar menghadapi
semua rasa takutku.
Dia adalah sisi
kepura-puraan yang bisa membuat setiap orang mempercayaiku dan berada
disekitarku agar aku tak sendirian.
***
“Lea, sepertinya
Darso suka padamu” ucap Rendra.
“yang benar
saja, dia sudah menikah!” balasku kesal.
Rumor semacam
itu sepertinya mulai memenuhi ruang gosip di dapur kantor. Rekan-rekan timku,
Revan dan Loki tak ada yang berani mengatakan secara gamblang, kecuali dengan
isyarat ‘ciee’ ‘ciee’ seperti remaja bodoh.
Istirahat siang
kali ini, aku meninggalkan kantor. Pikiranku sudah riuh dengan Hasa dan Kuro,
aku tak ingin urusan Darso ikut membuat pikiranku ribut.
Aku dan kuro
berjalan bersama melewati jembatan yang sama yang pagi tadi aku lewati. Aliran
sungainya sudah mereda.
“Sudah reda,
padahal tadi pagi caah loh”
Kuro diam saja
menatap sungai itu. Dia menghela nafas panjang yang berat. Lalu mulai bergumam
pelan.
“Maafkan aku Lea”
Kali ini aku
yang terdiam.
Meski tanpa
kata, pikiran kita sudah lekat terkoneksi. Kita sudah saling memahami. Apapun
yang ingin kita katakan saat ini, kita tahu dan hanya saling menunggu.
“Hei Kuro...”
Kuro lebih kuat
menunggu daripada aku. Dia menoleh kearahku, memastikan ekspresi wajahku yang
sudah memerah.
“Kurasa.. aku..”
Aku menarik
nafas lagi.
“Katakan saja
Lea”
Kata Kuro
berusaha tersenyum tenang.
“Kalau kau sudah
tahu kenapa harus kukatan! Berat tahu”
“Kau sudah
memutuskan, beranilah!”
Aku menarik
nafas lebih dalam lagi.
“Aku..
melepasmu. Aku.. mau mempercayai Hasa”
Kataku lemah dan
pelan.
Kali ini kuro
yang menarik nafas, dia lalu tersenyum padaku. Senyuman yang paling menenangkan
yang pernah kuro tunjukkan.
“Kan?
Kubilang juga apa.. haha ada waktunya kau harus melepasku”
Aku hanya
terdiam menahan air mataku.
“Kau sudah
memutuskan, jadi percayakan semuanya padanya.”
“Kau.. tidak
keberatan?”
Kataku terisak.
Kuro menggeleng lalu tertawa.
“Dia bisa
membuatmu melepaskanku. Dia hebat, Lea. Kau pun sekarang lebih berani, mungkin
karenanya. Berusahalah terus percaya padanya, buat dia percaya padamu juga!
Entahlah. Aku masih yakin dia membutuhkanmu juga seperti kau membutuhkannya.”
“Bagaimana
jika...”
“Kalau sudah
percaya ya percaya! Jangan bertanya tanya lagi sepertiku. Pergilah! jam
istirahat sudah selesai”
Aku terdiam
menyeka air mataku yang tak mau berhenti
mengalir. Aku membalikkan badanku meninggalkan kuro yang menatap sungai
terpaku.
“Hei Lea!”
Aku sontak
berbalik lagi mendengarnya memanggilku.
“Jangan lupa,
kasih tahu si bodoh itu, kau sudah melepasku. Aku tak akan lagi mengganggu haha”
Aku mengangguk
tertawa dengan air mata. Lalu kembali ke kantorku, hanya saja kali ini Kuro
sudah tak mengikuti.
Tas selempangku
terasa terlalu ringan.
0 komentar:
Posting Komentar