//JALAN LAINNYA//
“Naik perahu ayo!”
“Sini, Lea, foto disini!”
“Main bola! Ayo Leya!”
“Foto box.. come on Leya!”
“Battle game!!”
Aku benar-benar tak bisa mendefinisikan situasiku
saat ini. Well... aku memang pernah lihat scene yang sedang
terjadi macam seperti ini. Dua orang muda mudi yang bermain di taman lalu ke game
center, main bersama, berlanjut ke jalan jalan untuk belanja dan makan
bersama sambil cekakak cekikik kegirangan. Aku sering menontonnya di
film anime. Adegan kencan anak SMP. Tapi...
“Hei, Leya! Jangan melamun, sini!” Hasa menarik
baju ku, dia menunjuk sebuah bangku untuk duduk beristirahat.
Setelah semalam menginap di rumah kakak Hasa, kami
langsung meluncur ke tempat tinggalku. Menurut Hasa, ini adalah bagian dari
“perjalanan terakhir”nya itu. Dia ingin berlibur ke tempat wisata di kotaku.
Dan disinilah kita : terjebak di sebuah frame adegan drama yang
membingungkan. Aku menatap Hasa lamat-lamat. Dia sedang mencari-cari stand
makanan yang amat jarang.
“Kau tidak sedang kencan bukan?” Kuro
berbisik dari balik tasku. Aku hanya menggeleng tak paham soal apa yang sedang
terjadi.
“Dan dia....bahkan tidak meminta kembali
berhubungan denganmu kan?” Tanya Kuro lagi. Aku pun menggeleng lagi.
“Kau tau? Kau terlihat seperti bocah SMP yang
kegirangan sekarang!” Kuro menyindirku telak.
“Aku tahu!” Aku memalingkan wajahku. Kuro bodoh. Wajar
bukan? Toh aku tak pernah mengalami hal semacam ini.
“Hei, Leya! Kita main itu yuk!” Hasa tiba-tiba
menunjuk sebuah stand permainan melempar bola. Tanpa respon dariku, dia sudah
berjalan menuju stand itu. Aku mengikutinya. Tunggu.. dia tidak benar-benar
akan main itu kan?
Sebenarnya, permainan itu sederhana, hanya perlu
melempar bola untuk memecahkan piring yang letak dan jaraknya sudah diatur
untuk mendapatkan boneka. Tapi gara-gara itu, adegan drama justru kembali berputar di otakku. Lalu selanjutnya
dia akan memberikan bonekanya padaku?
“Binggo. Haha. Klasik” sahut Kuro
sarkastik.
***
Rencana liburan terakhir itu sudah terlaksana.
Kali ini Hasa sedang terduduk di ruang tamu rumahku, mengobrol dengan ayah
Ibuku. Setelah ini, dia akan mengantarku kembali ke kota Bunga. Aku tidak
pulang kerumah, sebab esoknya aku mulai bekerja di Kantorku yang baru.
“Aduh, maaf jadi merepotkan ya, sampai harus
mengantar Lea” sahut Ibuku ramah.
“Tak apa-apa bu” Hasa tak kalah ramah, sedang Kuro hanya
mendengus melihat keramahannya.
“Lain kali, kesini lagi ya, tadi belum sempat
mengobrol lama” khas Ibuku selalu seperti itu, mengundang teman-temanku untuk
kembali, tidak terkecuali. Berbeda dengan ayah, untuk teman laki-laki, ayah tak
pernah mengundang mereka untuk kembali main kerumahku.
Aku bersiap-siap dikamarku. Kuro yang tiga hari
ini lebih banyak diamnya, mulai kembali menatapku tajam. Wajahnya benar-benar
serius, mulutnya mulai terbuka seperti mengambil ancang-ancang untuk
mendeklarasikan hal yang penting.
“Lea.. Bagaimana seandainya jika aku pergi?”
Aku terpaku.
“Jauh sebelum ini, kita sudah membicarakannya
Kuro! Tidak, titik.”
“Bagaimana kalau harus?”
“Apa yang membuatku harus melepasmu?”
Aku balik menatap kuro dua kali lipat lebih tajam.
Dia akhirnya menghela nafas.
“baiklah, memang belum waktunya” gumamnya sambil
melenggang pergi keruang tengah.
Jika tidak ada Kuro, siapa lagi yang akan
menyayangiku dan melindungiku? Bahkan Hasa pun sudah kelelahan dan menyerah.
0 komentar:
Posting Komentar