Choosing
between love and life is like choosing between fantasy and reality.
Sudah sejak lama
aku percaya kalimat itu, bahwa cinta dan kehidupan adalah serupa air dan minyak
yang sulit disatukan. Seperti halnya aku yang tak bisa hidup di kedua dunia
yang ku ampu. Aku tak bisa memilih keduanya, tapi aku tak ingin pula memisahkan
keduanya.
“Cinta sejati
itu, satu berbanding seribu. Rata-rata manusia itu benar-benar jatuh cinta
hanya satu kali, dan itupun belum pasti kalau si cintanya akan jadi pendamping hidup
selamanya. Ada yang kandas, ada yang kehiangan. Ada yang berselingan jalan.
Bermacam-macam. Tapi, kita bisa menumbuhkan cinta yang rasional...menerima bentuk cinta yang
nyata”
Entah darimana
tante Alen mendapatkan teori semacam itu. Entah apa pula maksudnya. Aku tak
bisa mentrasformasi teori itu menjadi suatu definisi makna yang lebih tepat,
keterbatasan pemahamanku hanya bisa menyimpulkan : rasa cinta yang sebenarnya
itu, serupa mitos yang sulit ditemukan.
Kesimpulan itu
menarikku pada hipotesa lainnya, bahwa mungkin aku tidak bisa jatuh cinta.
Dan batinku meronta.
Demi meredakan
ringkikan batinku, diam- diam aku menciptakan dunia kedua dengan ilusi cinta di
dalamnya. Kuro adalah salah satu partikel porosnya. Namun, saat ini semuanya
tercampur tiba-tiba. Dunia keduaku kini sekarat, dan aku tersoek-soek untuk
kembali ke dunia nyata.
“Aley..
Aley!!!!” Hasa berteriak tepat di daun telingaku.
“Sudah kubilang
jangan melamun sambil berjalan! Lalu simpan HP mu!” Hasa membentakku. Menariku paksa kembali ke situasi saat ini.
Aku merengut, menatap seseorang yang menjadi penglima pengacau dunia kedua
ku.
“Kenapa wajahmu
merengut begitu?”
Aku mendesah
panjang. Saat ini, aku dan Hasa sedang berjalan-jalan di Alun-Alun Pusat Kota,
bermaksud menghabiskan waktu berdua. Sayang sekali, kondisi tubuh dan pikiranku
tidak sedang berjalan semestinya.
“Aleeey!!! Mau
kemana! Belok kesini, kita kan mau ke tempat parkiran”
Hasa, menarik
ranselku, wajah isengnya terlihat mulai kesal sebab harus mengingatkanku
berulang kali. Dia sendiri terlihat berusaha mengontrol emosi.
“Oh, kupikir
kesebelah sana”
“Dasar! Kau ini
buta arah ya!”
Batinku
tertohok. Tak ada yang salah dengan perkataan Hasa, sebab memang kecerdasan
spasial ku sangat terbatas. Aku tak bisa membedakan rupa persimpangan jika tak
ada tempat mencolok yang bisa kutandai. Aku tak cermat membaca arah peta jika
tak ada nama yang kukenal tertera di peta itu. Aku sendiri bahkan tak sanggup menarik jalur
dan membuat gambaran sebuah lokasi yang sudah berulang kali aku lewati.
Tapi aku tak
pernah tersesat, ketenanganku bisa mengimbangi. Seberapa jauh dan
berputar-putar jalan yang kulalui, aku selalu bisa sampai ketempat tujuan.
Mungkin itu semacam kemampuan tersembunyi yang hanya berlaku untukku sendiri.
Karena jika ada orang lain, aku bisa membuatnya panik setengah mati. Tana
contohnya, dia tak pernah mau lagi berlibur hanya berdua denganku, sebab meski
dengan panduan GPS, aku nyaris membawanya ke lembah pegununga padahal tujuan kita adalah tempat wisata instagram-able yang terletak di pusat kota.
“Aley!!!! Fokus!!!” Suara baritone Hasa
yang mulai naik oktaf, mengagetkanku
lagi.
“Hhhhh! Kita
istirahat dulu saja disana” Gumam Hasa
frustasi, dia menunjuk sebuah baku di pinggir jalan dibawah bayangan pohon
pinus dekat taman bunga akasia.
Aku tak bisa
menunjukan ekspresi lain selain merengut. Tak ingin membuat Hasa kesal dengan
wajahku, aku membuang muka.
“Ceroboh… Sering
melamun.. Tidak teliti… Pelupa… Buta Arah,
hati-hati Aley!” Hasa bergumam
padaku sambil menselonjorkan kakinya. Dia menelengkupkan kudua telapak tangan ke wajahnya, seolah ingin meredam kalimat yang baru saja meluncur dari mulutnya. Aku memasang cengir kuda padanya, lalu
kembali melempar pandanganku kearah lain.
Satu sisi, aku
bersyukur Hasa tahu semua kekuranganku, dengan begitu dia tinggal memutuskan
untuk menerimanya atau meninggalkannya. Di sisi lain, egoku masih merasa
tersayat sayat sebab kekuranganku di lontarkan dengan gamblang lewat nada
tinggi yang penuh kekesalan. Sebersit rasa takut kehilangan muncul lagi. Menyebalkan.. Hasa selalu
muncul menjadi sisi horror dari drama hidupku.
“Hm… padahal
dulu kupikir Aley, tipikal yang teliti pada hal detail haha” Dia berusaha
mencairkan suasana, tapi aku justru merinding mendengarnya. Apa dia sedang
mendeklarasikan kekecewaannya?
Aku menoleh
kearahnya, lalu melempar senyum yang (bisa jadi) terlihat kecut dimatanya.
“Senyuum doang
dari tadi haah… dasar Aley!”
Di membuang nafas panjang, memegang
kepalaku lalu menggerakan tangannya seolah mengacak acak ubun-ubunku.
Aku tak bisa
berkata-kata. Aku tak punya bantahan apapun atas kalimatnya dari awal hingga
akhir. Satu – satu nya yang bisa kulakukan hanya perlahan mengantisipasi apa
yang jadi ketidaksempurnaanku, dan aku tak bisa sendiri.
Bisakah dia
menerima kelelahan yang lebih dari sebelumnya?
Aku menatapnya
terlalu lekat, berharap menemukan sebuah suara yang sedang diutarakan hatinya,
sebuah gambaran yang diproyeksikan otaknya. Aku ingin memahami segala hal dari sisinya, dan itu tak mudah.
“Kenapa melihatku begitu Aley?”
Dia mungkin
sedikit risih sebab aku memandangnya terlalu lama. Ekspresinya terlihat sebagai
campuran rasa penasaran dan rasa canggung. Melihat wajahnya, aku mulai tergelitik untuk tersenyum
sebagaimana mestinya.
“hehe..Nggak”
Jawabku
menggelengkan kepala.
“Lapar ya… haha Ayo,
kita beli makanan enak! Kita liat dulu makanan mana yang recommended disekitar sini.” Senyuman paksa Hasa mulai mencair menjadi tawa.
Bisa. Dia
sedang lebih dari sekedar berusaha untuk menerimaku.
Aku yang harus lebih berusaha kembali kedunia
nyata.
Perlahan, sebuah
dunia di titik balik pikiranku mulai retak, terambas menjadi serpihan yang
berkeping-keping. Kepingan itu berterbangan, menelusup memasuki dunia lainnya
yang baru, kembali terbentuk, tersusun menjadi istana berwarna. Bagiku,
perasaan cinta kini terasa lebih nyata.
Tak ada lagi fantasi Hasa membuatku sedikit bertransformasi.
Tak ada lagi fantasi Hasa membuatku sedikit bertransformasi.
***
“Hayoh!!!” Tante Alen tiba-tiba muncul dengan mukena
putihnya yang sengaja ia juntai hanya untuk mengagetkanku. Aku menoleh biasa
saja, tanpa ekspresi tanpa tawa.
“Yaaah, kupikir
sedang melamun, biasanya kalau sudah menyendiri kan pasti menghayal kesana
kemari”
Aku tertawa.
“Sedang apa? Mantengin
GPS gitu?”
“Hmm… sedang
belajar”
“Lah? Belajar
apaa?” Tante Alen sekonyong- konyong duduk disampingku.
“Melacak jalur
jalan kehidupan” ucapku asal sambil tertawa.
Tante Alen,
memajukan bibirnya dan mencibir meniru ucapanku dengan gaya yang kegenitan. Aku
semakin tertawa.
Meski tertatih-tatih, aku mulai bisa berhenti melayangkan pikiranku kedalam
kisah antah berantah yang maya. Aku mulai belajar mengenal tempat-tempat yang pernah kukunjungi. Aku mulai menata memori, memasang teralis terpisah dengan kubik imajjinasi. Aku mulai berhenti menunda segala macam mommen di kehidupan nyata. Aku mulai mencatat kembali setiap detil yang harus kulakukan. Aku mulai memperhatikan. Dan perlahan, Aku bisa meraba setiap warna dan
suara disekitarku yang menjadi nyata.
Terima Kasih.
0 komentar:
Posting Komentar