pict by By Anais Galvez |
Tulisan dan Pelarian
Aku tidak berada di kesemuanya.
Dysfunctional Brain
Dehuminizing
The little girl screamed a lot, she shouted even with her hoarse voice. For once again she tried to escape from that locked room.
“L..LET ME OUT!” her voice started trembling.
In the other side of the door, an older girl smirked. Her hand soaked in sweat.
“No.. not this time, please” she wishpered as her voice was trembling too.
“LET ME OUT! YOU KNOW YOU NEED ME!” the little girl started crying.
The words weakened the older girl. She stepped back and took something behind the desk.
“P..please..” the little girl sobbed.
“…” the door was opened for a span.
“Tha — ” the little girl stopped smiling as she saw the older herself was holding a knife.
“do you know that you have ruined many things? do you know that ‘they’ don’t like you? ‘they’don’t even expect you to exist” The older girl smirked wider. She held the knife even tighter.
The older girl walked away and left the door locked. She couldn’t help hearing the little girl crying, so she entered another room with many people in it.
The people with flat face clapped for her. She put her artificial smile on her face and soon, the show was ended.
It’s a magic show of childlish adults.
*inspired by webtoon of Melvina’s therapy*
Kepingan 71
Kepingan 72
Kepingan 73
Mereka juga punya tempat di bilik
ingatan Hasa, bahkan satu – dua dari mereka berkontribusi langsung dalam
menjadikan seorang Hasa yang seperti saat ini. Dalam pikiranku, aku menyimpan
nama-nama dan cerita mereka, setidaknya sebagai referensi agar aku lebih paham
cerminan diriku sendiri untuk Hasa.
Kepingan 74
Kepingan 75
Kepingan 76
Kepingan 77
Kepingan 78
Kepingan 79
Kepingan 80
Kepingan 81
//Diari Aleya 2//
Rasa
panas itu menjalar dari mata ke wajah hingga ke dada. Pemandangan yang baru
saja kutemukan menggelembungkan buih buih kekesalan yang akhirnya tumpah ruah menjadi
air mata tanpa suara. Saat itu aku yang sedang berada di ruang tamu keluargaku, aku langsung beralih posisi : mengunci diri di kamar. Aku menarik nafas. Seharusnya aku tak se emosional ini.
Kepingan 82
Kepingan 83
Kepingan 84
//Cinta Lainnya : Ibu Bagian 2//
Kali ini, aku
dan Hasa berada di perjalanan menuju rumahnya lagi. Ini kunjunganku yang kedua
dalam sebulan terakhir, dan aku masih saja gugup. Sebab kali ini aku akan
menginap dirumah Hasa, dan tidur bersama Ibunya. Hasa selalu punya cara untuk membuat
jantungku bekerja lebih ekstra dari biasanya.
Kepingan 85
Kepingan 86
//TANGANNYA//
Waktu
melesat dengan lambat sekaligus cepat. Dua bulan sudah terlewati sejak Deklarasi
Darso soal Takdir Tuhan. Dua bulan
itu terasa lama karena banyak yang terjadi. Sudah tak terhitung seberapa kali
Darso menganggu waktu liburku dengan pesan pesan singkatnya. Tak terhitung pula
perdebatanku dengan Hasa karenanya. Tapi pada akhirnya dua bulan itu sudah
berlalu.
Kepingan 87
Kepingan 88
Kepingan 89
//KURO//
Aku tak pernah
ingat sejak kapan Kuro ada. Aku hanya tahu dia benar-benar bagian terpenting
dalam hidupku. Saat aku menangis, dia yang memelukku, saat aku marah dia yang
melampiaskannya untukku, dan saat aku ketakutan dia yang akan maju
melindungiku. Hanya dengan memikirkan bahwa dia tak ada di sisiku, sudah akan
membuatku kalut.
Kepingan 90
Kepingan 91
//TITIK DIDIH//
Hari ini, aku
melihat Darso tertawa, sedangkan aku naik pitam dibuatnya. Aku baru menyadari,
beberapa hari sebelumnya, dia selalu melakukan hal yang tidak seperlunya dia
lakukan. Tentu saja itu hal baik, seperti sering mengajak makan bersama tim,
sering memperhatikan makanan dan kesehatan bahkan hingga memenuhi keperluan
timnya. Kebaikan yang dia lakukan, aku pikir hanya berdasarkan basis
kekeluargaan yang memang di terapkan di timku. Bahkan Aira selalu bilang, dia
memang terlalu perhatian pada rekan kerjanya.
Kepingan 93
//Bayangan Masa Depan//
Dan tiba-tiba kisahku menjadi padu tentangmu.
Suara-suara
penghuni alam mulai terdengar menenangkan di kepalaku juga Zahra. Akhir minggu
ini aku dan Zahra pergi bersama menuju taman konservasi burung. Tujuan kita
sederhana saja: Demi relaksasi. Kita sama-sama mahluk introvert yang
perlu waktu untuk mengasingkan diri dari hiruk pikuk dan bisingnya manusia
bumi.
Kepingan 94
Kepingan 95
Kepingan 96
//Restart//
Seandainya
di setiap kehidupan ada tombol restart..
Malam sudah
larut, aku dan Hasa sedang berada di penghujung perjalanan terakhir
kita. Teori distrorsi waktu mulai bekerja, perjalanan tiga hari ini terasa
hanya tiga jam. Aku tak tahu harus bagaimana. Bola mataku tertarik untuk
meliriknya sesering mungkin. Apa yang sedang dia pikirkan?
Kepingan 98
//JALAN//
Aku
tak pernah mau mengutuk takdir sebab ia berputar dan berjalan begitu
menyebalkan; ia mampu mengacak-acak skenario manusia lalu menggantikannya
dengan skenario yang amat tak terduga. Ia bisa menarik garis diantara
manusia, memutuskannya dan menariknya lagi sekehendaknya. Perjanjian ku dengan
Hasa secara resmi telah berakhir. Kita berdua telah merusaknya dengan ego dan
cara kita masing masing. Tapi sialnya, kita memaksa takdir untuk menarik garis
diantara kita berdua (lagi).
Kepingan 99
//LENGAH//
Pada dasarnya, semua fase yang dialami manusia ketika patah hati adalah sama
saja. Tahap pertama setelah merasakan kesedihan, adalah “penyangkalan”. Denial.
Menyangkal situasi bahwa hubungan yang dimilikinya sudah berakhir. Mungkin aku
sudah ada pada tahap pertama, sebab tanpa sengaja aku sudah meruntuhkan semua
harga diriku untuk menghubunginya. Aku masih ingin kembali.
Kepingan 100
//PATAH//
Aku terbangun dengan perasaan terberat
yang baru saja kualami dalam hidupku. Perasaan ini lebih memuakkan dibandingkan
kemarahan dan bahkan lebih menyedihkan dibandingkan kesepian. Kalaupun aku bisa
membedah diriku sendiri dan mencabuti organ-organ tubuhku agar tidak merasakan
sakit, itu tak akan berguna. Perasaan ini tak sebanding! Dan bahkan tak adil
bagiku untuk bisa merasakannya.
Mozaik Sepuluh
Mozaik Sembilan
Mozaik Delapan
//Runtuh//
Tidak semuanya selalu akan berjalan baik-baik saja. Aku tahu, pada akhirnya akan seperti ini. Aleya, aku menjadi satu-satunya orang yang di permainkan Hasa.
Saat ini emosi Aleya begitu kacau balau. Jika sudah begini, aku yakin bahwa Aleya sudah menumpuk banyak emosi sebelumnya.
"Hei, Kuro. does death feel better?" gumam Aleya, mata kosongnya berkaca kaca menatapku. Aku selalu benci sisi Lea yang seperti ini, dia bahkan tak menghargai kehidupannya sendiri.
"Kau tau, aku paling benci kalau kau bertanya begitu"
"hahaha, sayangnya aku lebih benci lagi pada diriku sendiri"
Lea tertawa sarkastik, padahal dia sedang menangis. Ekspresi yang menyebalkan.
Seandainya saja Hasa tak berulah, mungkin Lea tak akan begini lagi. Sumpah! Kurasa kesalahan besar aku mendekatkan Lea pada Hasa. Aku tak memperhitungkan nya dengan cermat, kalau Hasa, jauh lebih cerdik dan picik dariku.
"hubungi Tana" perintahku pada Lea.
"dia sibuk" Lea bangkit dari posisinya, mencoba kembali mengerjakan pekerjaannya. Ini akan jadi hal yang buruk kalau Lea mengabaikan kemarahannya lagi.
"jangan kerjakan apapun! hubungi zahra! ya tuhan Lea! berhenti bertingkah seolah tidak ada apa apa! keluarkan saja emosimu!"
Kali ini justru aku yang mulai menangis membentak Lea. Semakin Lea menumpuk emosinya, semakin aku bisa merasakan rasa sakitnya.
Sejak tadi ponsel Lea tak berhenti berdering.
Hasa : [tadinya ini hanya main main saja. tapi aku kecewa]
Hasa : [bagaimana bisa kau seakrab itu dengan orang yang tak dikenal? kau memberi orang kesempatan!]
Hasa : [kau merasa senang jika banyak yang menyukaimu? aku kecewa]
"DIA PIKIR DIA YANG HARUS KECEWA? DIA SUDAH MERENDAHKAN LEA KU! DIA BAHKAN TIDAK MENGHARGAI PRIVASI LEA DENGAN MEMBOHONGI LEA! KENAPA DIA YANG MARAH?"
Aku melempar ponsel yang dipegang Lea. Kemarahan Lea sudah sempurna berpindah kepadaku. Aku amat murka pada Hasa.
Pertama, karena dia menjadikan Lea bahan permainan. Bagaimana bisa dia memata-matai ponsel Lea hanya untuk taruhan dengan teman-temannya?
Kedua, karena dia membalikkan keadaan. Kali ini dia yang justru marah pada Lea hanya karena ada percakapan dari teman laki-laki Lea. Lalu dia meragukan Lea semaunya! Apa salahnya jika ada orang yang menyukai Lea hah? Lea bahkan tak pernah memikirkan siapapun kecuali dia! Seandainya dia mau, aku bisa saja membuatnya memilih orang yang lebih baik dari dia!
Jika sudah begini, hanya ada emosi putus asa yang tersisa pada diri Lea. Aku melihat matanya semakin gelap setelah menangis dan mengadu pada Zahra. Ini bukan hal yang baik.
"sudahlah, aku tak peduli"
sahut Lea tenang (yang menurutku justru menakutkan). Seharusnya aku tak mengambil alih kemarahan Lea.
Seharusnya Lea marah saja.
Hasa : [kau kalau mau marah marah saja! meskipun aku kecewa, aku juga mau tahu]
Hasa masih mendesak Lea bicara rupanya. Aku ingin mengutuknya saja.
"hhh..aku tidak bisa marah padanya, Kuro. dia tak sepenuhnya salah"
Keesokan harinya, Lea sudah kembali seperti biasa. Tapi bagiku ini sesuatu yang tidak biasa.
"Tentu saja dia salah! kau cuma tak bisa membela diri, kau cenderung menyalahkan dirimu sendiri!"
Lea tersenyum padaku, dia mengelus kepalaku dengan lembut.
"iya kita berdua memang salah, tapi kita berdua sudah membicarakannya"
Pertengkaran mereka selalu berakhir begitu. Hasa selalu mencari masalah dengan Lea, dia memancing kemarahan Lea lalu dia meredamnya begitu saja. Hanya saja dia selalu meninggalkan rasa bersalah pada Lea.
Aku merasa Lea sudah terbiasa dengannya.
Tapi aku menduga itu bukan hal yang baik. Ada sesuatu yang salah pada Lea. Dibandingkan menghancurkan dinding pembatas yang ada pada dirinya, Lea justru sedang meruntuhkan dinding kepercayaan yang sudah dia miliki.
Seharusnya tak begini.
Tidak semuanya selalu akan berjalan baik-baik saja. Aku tahu, pada akhirnya akan seperti ini. Aleya, aku menjadi satu-satunya orang yang di permainkan Hasa.
Saat ini emosi Aleya begitu kacau balau. Jika sudah begini, aku yakin bahwa Aleya sudah menumpuk banyak emosi sebelumnya.
"Hei, Kuro. does death feel better?" gumam Aleya, mata kosongnya berkaca kaca menatapku. Aku selalu benci sisi Lea yang seperti ini, dia bahkan tak menghargai kehidupannya sendiri.
"Kau tau, aku paling benci kalau kau bertanya begitu"
"hahaha, sayangnya aku lebih benci lagi pada diriku sendiri"
Lea tertawa sarkastik, padahal dia sedang menangis. Ekspresi yang menyebalkan.
Seandainya saja Hasa tak berulah, mungkin Lea tak akan begini lagi. Sumpah! Kurasa kesalahan besar aku mendekatkan Lea pada Hasa. Aku tak memperhitungkan nya dengan cermat, kalau Hasa, jauh lebih cerdik dan picik dariku.
"hubungi Tana" perintahku pada Lea.
"dia sibuk" Lea bangkit dari posisinya, mencoba kembali mengerjakan pekerjaannya. Ini akan jadi hal yang buruk kalau Lea mengabaikan kemarahannya lagi.
"jangan kerjakan apapun! hubungi zahra! ya tuhan Lea! berhenti bertingkah seolah tidak ada apa apa! keluarkan saja emosimu!"
Kali ini justru aku yang mulai menangis membentak Lea. Semakin Lea menumpuk emosinya, semakin aku bisa merasakan rasa sakitnya.
Sejak tadi ponsel Lea tak berhenti berdering.
Hasa : [tadinya ini hanya main main saja. tapi aku kecewa]
Hasa : [bagaimana bisa kau seakrab itu dengan orang yang tak dikenal? kau memberi orang kesempatan!]
Hasa : [kau merasa senang jika banyak yang menyukaimu? aku kecewa]
"DIA PIKIR DIA YANG HARUS KECEWA? DIA SUDAH MERENDAHKAN LEA KU! DIA BAHKAN TIDAK MENGHARGAI PRIVASI LEA DENGAN MEMBOHONGI LEA! KENAPA DIA YANG MARAH?"
Aku melempar ponsel yang dipegang Lea. Kemarahan Lea sudah sempurna berpindah kepadaku. Aku amat murka pada Hasa.
Pertama, karena dia menjadikan Lea bahan permainan. Bagaimana bisa dia memata-matai ponsel Lea hanya untuk taruhan dengan teman-temannya?
Kedua, karena dia membalikkan keadaan. Kali ini dia yang justru marah pada Lea hanya karena ada percakapan dari teman laki-laki Lea. Lalu dia meragukan Lea semaunya! Apa salahnya jika ada orang yang menyukai Lea hah? Lea bahkan tak pernah memikirkan siapapun kecuali dia! Seandainya dia mau, aku bisa saja membuatnya memilih orang yang lebih baik dari dia!
Jika sudah begini, hanya ada emosi putus asa yang tersisa pada diri Lea. Aku melihat matanya semakin gelap setelah menangis dan mengadu pada Zahra. Ini bukan hal yang baik.
"sudahlah, aku tak peduli"
sahut Lea tenang (yang menurutku justru menakutkan). Seharusnya aku tak mengambil alih kemarahan Lea.
Seharusnya Lea marah saja.
Hasa : [kau kalau mau marah marah saja! meskipun aku kecewa, aku juga mau tahu]
Hasa masih mendesak Lea bicara rupanya. Aku ingin mengutuknya saja.
***
"hhh..aku tidak bisa marah padanya, Kuro. dia tak sepenuhnya salah"
Keesokan harinya, Lea sudah kembali seperti biasa. Tapi bagiku ini sesuatu yang tidak biasa.
"Tentu saja dia salah! kau cuma tak bisa membela diri, kau cenderung menyalahkan dirimu sendiri!"
Lea tersenyum padaku, dia mengelus kepalaku dengan lembut.
"iya kita berdua memang salah, tapi kita berdua sudah membicarakannya"
Pertengkaran mereka selalu berakhir begitu. Hasa selalu mencari masalah dengan Lea, dia memancing kemarahan Lea lalu dia meredamnya begitu saja. Hanya saja dia selalu meninggalkan rasa bersalah pada Lea.
Aku merasa Lea sudah terbiasa dengannya.
Tapi aku menduga itu bukan hal yang baik. Ada sesuatu yang salah pada Lea. Dibandingkan menghancurkan dinding pembatas yang ada pada dirinya, Lea justru sedang meruntuhkan dinding kepercayaan yang sudah dia miliki.
Seharusnya tak begini.
Mozaik Tujuh
//Hadiah Kedua//
Aku terdiam memandangi si hati perunggu di lemari kaca Lea. Tak ada sapu tangan sakura lagi disana. Sejujurnya tak ada yang meminta Lea sampai seserius ini. Termasuk aku sendiri yang "mengakui" Hasa. Hanya saja...
"Itu yang namanya komitmen, Kuro"
Gumam Lea ketika memergokiku memandangi lemari kacanya.
"Kau serius Lea?"
"Terlambat untuk bertanya begitu, Kuro"
Lea selalu menjerumuskan dirinya sendiri hanya karena rasa ingin tahu. Aku tak suka sisi Lea yang seperti itu. Kali ini dia benar benar mengabaikan logikanya.
"Apa baiknya dia, Lea?"
Pertanyaan konyol. Bukankah aku sendiri yang lebih tahu soal Hasa dibandingkan Lea?
"Emmm..dia cukup ramah dan pintar"
"Itu deskripsi umum! Apa yang membuatmu mau berkomitmen dengannya?"
"Kenapa kau baru menanyakannya sekarang? Bukankah sudah tak penting lagi memikirkannya?"
Lea melempar balik pertanyaan yang membuatku mati kutu. Skakmatt.
Lea benar, sudah hampir setahun dia berkomitmen dengan Hasa. Kenapa aku yang jadi ragu?
"Ta..pi.."
"Sudahlah, toh aku dan Hasa baik baik saja kan selama ini"
Kalimat Lea kali ini justru memicu sesuatu dalam diriku.
"Itu dia!!! Justru karena hubunganmu terlalu baik baik saja!! Bukankah hubunganmu yang sebelumnya pun sangat baik baik saja!?"
Lea terdiam. Aku tahu aku benar. Lea belum membuka dirinya. Bagiku jika Lea terlihat sangat baik baik saja, berarti itu adalah hal yang tak baik. Semoga saja aku salah!
"Hei Kuro, bulan depan Hasa ulang tahun"
"Terus? Apa kau akan memberi hadiah terakhir padanya seperti hubunganmu yang sebelumnya!?"
Aku panik sedangkan Lea malah tertawa.
"Bantu aku pilihkan hadiah lagi."
Lea tak menghiraukan rasa panikku.
Semalaman ini Lea sibuk dengan laptopnya untuk mencari referensi Hadiah ulang tahun. Dia menahan diri untuk tak bertanya pada Hasa soal hadiah yang diinginkannya. Kali ini dia berusaha menyiapkannya sendiri.
"Hei kuro, bagaimana menurutmu soal couple things ?" Tanya Lea di sela sela kesibukannya mencari referensi.
Aku menghampiri Lea yang sedang tengkurap menghadap laptopnya. Kulihat dia sedang memilih sesuatu di toko online.
Aku naik ke bahu lea dan merebahkan diriku di punggungnya untuk melihat lebih jelas tampilan di laptopnya. Kulihat dia sedang memilih jam tangan.
"Tunggu dulu.. kau mau membeli jam tangan couple!?" Aku memekik tepat di telinga Lea.
"Sshhh! Berisik. Hm.. kurasa dia suka jam tangan"
"Ck. Itu kau Lea! Kau yang suka jam tangan dan mengkoleksi jam hingga bangkai bangkainya"
"Dih! Aku tak suka koleksi jam tangan Kuro! Aku cuma suka memakainya. Kalau mati ya.. aku ganti"
"Ya, dan jam tanganmu yang sebelumnya sudah mati.. jadi sekarang kau ingin beli lagi.. dan supaya hemat, kau mau beli sekalian untuk hadiah Hasa?"
Aku yakin analisisku benar.
"Supaya hemat? Haha entahlah. Tapi sudah kuduga ini bukan ide yang bagus."
Lea akhirnya menyerah. Dia memutar badannya dan memelukku.
"Mungkin memang harus ditanyakan saja, dia maunya dapat hadiah apa"
Lea lalu tertidur, tanpa menutup halaman gawainya. Sudah jadi kebiasaannya berlama lama di depan laptop lalu tertidur begitu saja.
Aku mengintip laptop Lea. Satu item sudah ada dalam daftar pembelian Lea. Bahkan sudah lunas dibayar.
"Kau serius membeli jam tangan couple!?" Gumamku kosong. Tentu saja Lea yang sudah pulas tak akan mendengarku.
Aku memandang Lea yang terpejam. Dia cantik. Tapi bukan itu masalahnya! Baru kali ini aku tak bisa tahu jalan pikirannya.
Apa dia sedang merencanakan sesuatu? Apa dia sedang taruhan dengan rasa penasaran? Atau dia sedang tak sadar kalau dia merasakan emosi yang baru? Jatuh cinta misalnya? Semua tingkahnya saat ini, terlulah seperti tingkah gegabah dimataku.
"Sudah kutanyakan, dan aku sudah beli hadiah sesuai yang dia inginkan"
Jawab Lea saat kutanya soal hadiah ulang tahun Hasa.
"Bukannya kau sudah membeli jam tangan?" Tanyaku sarkastik, aku melempar seringai pada Lea.
"Darimana kau...!? Ah iya, aku lupa matikan laptop lagi ya"
Aku semakin tajam menatap Lea, menyelidik alasan apa yang akan ia berikan.
"Iya, rencananya itu yang akan jadi hadiah, tapi kudengar laki laki tak begitu suka couple things. Memalukan. Lagipula kurasa memang menggelikan dan berlebihan. Jadi aku cancel aja" Suara canggung Lea membuatku begitu tersentak. Dia terlihat manis saat ini.
Tapi aku sudah terlalu kaget ketika Lea memutuskan membeli jam tangan sepasang. Kenapa sisi manisnya itu muncul selain didepanku!?
"Bukannya sudah kau bayar?"
Entah kenapa aku merasa agak kesal saat ini.
"Ya. Untungnya masih bisa di cancel, dan dapat refund"
"Hei Lea. Dia itu tak cocok jadi suamimu loh!" Kali ini mulutku tak bisa di kontrol. Aku kesal sampai ubun ubun. Seharusnya Lea tak terlalu jauh terlibat dengannya. Bagiku, Hasa cukup jadi "pemicu" karakter Lea saja.
Tapi Lea malah tertawa.
"Haha padahal sebelumnya kau bilang dia baik buatku"
"Iya! Hanya sebagai teman dekat yang bisa merubahmu jadi lebih baik! Dia punya semua sisi yang berlawanan denganmu, kau bisa belajar banyak darinya"
"Hahaha, kau cemburu?"
"Ugghh! Tentu saja! Tapi aku juga ingin yang terbaik buatmu! Dia itu.. aaah! Sudahlah!"
Ekorku mulai berdiri.
"Menurutmu apa dia bisa lebih baik dari sekarang?"
"Bisa saja, semua manusia pasti bisa berubah jika berusaha. Tapi---"
"Yasudah kalau begitu. Hehe, Berarti aku akan baik baik saja. Lagipula aku punya kamu"
Lea memelukku sambil tersenyum geli. Dia menempelkan hidungnya pada hidungku dan mengelus kepalaku lembut. Sialan. Inilah sisi manis Lea yang tak bisa ku abaikan.
"Oh ya, kurasa aku juga akan buat cerita tentangnya. Sebagai bonus hadiah"
"Tak usah!"
Lea tertawa.
"Yah aku cuma bisa menulis sih. I'm not expertise in making things so special for a special moment"
Kata Lea mengangkat bahu. Dia tidak menggubris laranganku.
"Kubilang ga usah! Kamu yang spesial Lea. Bukan dia!!"
Lea lagi lagi tertawa.
"Hei, ini" Hasa memberikan sebuah plastik berisi bungkusan kado. Setelah Lea menyodorkan hadiahnya.
"Apa ini?" Lea mengubek isi plastik itu.
"Hadiah buatmu juga. Oh. tunggu sebentar"
Dia mengeluarkan sebuah kotak hitam, di dalam nya terdapat sepasang jam tangan hitam. Dia mengeluarkan salah satunya
"belum punya jam kan?"
Aku terdiam membatu. Aku menatap Lea yang juga membatu.
Aku terdiam memandangi si hati perunggu di lemari kaca Lea. Tak ada sapu tangan sakura lagi disana. Sejujurnya tak ada yang meminta Lea sampai seserius ini. Termasuk aku sendiri yang "mengakui" Hasa. Hanya saja...
"Itu yang namanya komitmen, Kuro"
Gumam Lea ketika memergokiku memandangi lemari kacanya.
"Kau serius Lea?"
"Terlambat untuk bertanya begitu, Kuro"
Lea selalu menjerumuskan dirinya sendiri hanya karena rasa ingin tahu. Aku tak suka sisi Lea yang seperti itu. Kali ini dia benar benar mengabaikan logikanya.
"Apa baiknya dia, Lea?"
Pertanyaan konyol. Bukankah aku sendiri yang lebih tahu soal Hasa dibandingkan Lea?
"Emmm..dia cukup ramah dan pintar"
"Itu deskripsi umum! Apa yang membuatmu mau berkomitmen dengannya?"
"Kenapa kau baru menanyakannya sekarang? Bukankah sudah tak penting lagi memikirkannya?"
Lea melempar balik pertanyaan yang membuatku mati kutu. Skakmatt.
Lea benar, sudah hampir setahun dia berkomitmen dengan Hasa. Kenapa aku yang jadi ragu?
"Ta..pi.."
"Sudahlah, toh aku dan Hasa baik baik saja kan selama ini"
Kalimat Lea kali ini justru memicu sesuatu dalam diriku.
"Itu dia!!! Justru karena hubunganmu terlalu baik baik saja!! Bukankah hubunganmu yang sebelumnya pun sangat baik baik saja!?"
Lea terdiam. Aku tahu aku benar. Lea belum membuka dirinya. Bagiku jika Lea terlihat sangat baik baik saja, berarti itu adalah hal yang tak baik. Semoga saja aku salah!
"Hei Kuro, bulan depan Hasa ulang tahun"
"Terus? Apa kau akan memberi hadiah terakhir padanya seperti hubunganmu yang sebelumnya!?"
Aku panik sedangkan Lea malah tertawa.
"Bantu aku pilihkan hadiah lagi."
Lea tak menghiraukan rasa panikku.
****
Semalaman ini Lea sibuk dengan laptopnya untuk mencari referensi Hadiah ulang tahun. Dia menahan diri untuk tak bertanya pada Hasa soal hadiah yang diinginkannya. Kali ini dia berusaha menyiapkannya sendiri.
"Hei kuro, bagaimana menurutmu soal couple things ?" Tanya Lea di sela sela kesibukannya mencari referensi.
Aku menghampiri Lea yang sedang tengkurap menghadap laptopnya. Kulihat dia sedang memilih sesuatu di toko online.
Aku naik ke bahu lea dan merebahkan diriku di punggungnya untuk melihat lebih jelas tampilan di laptopnya. Kulihat dia sedang memilih jam tangan.
"Tunggu dulu.. kau mau membeli jam tangan couple!?" Aku memekik tepat di telinga Lea.
"Sshhh! Berisik. Hm.. kurasa dia suka jam tangan"
"Ck. Itu kau Lea! Kau yang suka jam tangan dan mengkoleksi jam hingga bangkai bangkainya"
"Dih! Aku tak suka koleksi jam tangan Kuro! Aku cuma suka memakainya. Kalau mati ya.. aku ganti"
"Ya, dan jam tanganmu yang sebelumnya sudah mati.. jadi sekarang kau ingin beli lagi.. dan supaya hemat, kau mau beli sekalian untuk hadiah Hasa?"
Aku yakin analisisku benar.
"Supaya hemat? Haha entahlah. Tapi sudah kuduga ini bukan ide yang bagus."
Lea akhirnya menyerah. Dia memutar badannya dan memelukku.
"Mungkin memang harus ditanyakan saja, dia maunya dapat hadiah apa"
Lea lalu tertidur, tanpa menutup halaman gawainya. Sudah jadi kebiasaannya berlama lama di depan laptop lalu tertidur begitu saja.
Aku mengintip laptop Lea. Satu item sudah ada dalam daftar pembelian Lea. Bahkan sudah lunas dibayar.
"Kau serius membeli jam tangan couple!?" Gumamku kosong. Tentu saja Lea yang sudah pulas tak akan mendengarku.
Aku memandang Lea yang terpejam. Dia cantik. Tapi bukan itu masalahnya! Baru kali ini aku tak bisa tahu jalan pikirannya.
Apa dia sedang merencanakan sesuatu? Apa dia sedang taruhan dengan rasa penasaran? Atau dia sedang tak sadar kalau dia merasakan emosi yang baru? Jatuh cinta misalnya? Semua tingkahnya saat ini, terlulah seperti tingkah gegabah dimataku.
***
"Sudah kutanyakan, dan aku sudah beli hadiah sesuai yang dia inginkan"
Jawab Lea saat kutanya soal hadiah ulang tahun Hasa.
"Bukannya kau sudah membeli jam tangan?" Tanyaku sarkastik, aku melempar seringai pada Lea.
"Darimana kau...!? Ah iya, aku lupa matikan laptop lagi ya"
Aku semakin tajam menatap Lea, menyelidik alasan apa yang akan ia berikan.
"Iya, rencananya itu yang akan jadi hadiah, tapi kudengar laki laki tak begitu suka couple things. Memalukan. Lagipula kurasa memang menggelikan dan berlebihan. Jadi aku cancel aja" Suara canggung Lea membuatku begitu tersentak. Dia terlihat manis saat ini.
Tapi aku sudah terlalu kaget ketika Lea memutuskan membeli jam tangan sepasang. Kenapa sisi manisnya itu muncul selain didepanku!?
"Bukannya sudah kau bayar?"
Entah kenapa aku merasa agak kesal saat ini.
"Ya. Untungnya masih bisa di cancel, dan dapat refund"
"Hei Lea. Dia itu tak cocok jadi suamimu loh!" Kali ini mulutku tak bisa di kontrol. Aku kesal sampai ubun ubun. Seharusnya Lea tak terlalu jauh terlibat dengannya. Bagiku, Hasa cukup jadi "pemicu" karakter Lea saja.
Tapi Lea malah tertawa.
"Haha padahal sebelumnya kau bilang dia baik buatku"
"Iya! Hanya sebagai teman dekat yang bisa merubahmu jadi lebih baik! Dia punya semua sisi yang berlawanan denganmu, kau bisa belajar banyak darinya"
"Hahaha, kau cemburu?"
"Ugghh! Tentu saja! Tapi aku juga ingin yang terbaik buatmu! Dia itu.. aaah! Sudahlah!"
Ekorku mulai berdiri.
"Menurutmu apa dia bisa lebih baik dari sekarang?"
"Bisa saja, semua manusia pasti bisa berubah jika berusaha. Tapi---"
"Yasudah kalau begitu. Hehe, Berarti aku akan baik baik saja. Lagipula aku punya kamu"
Lea memelukku sambil tersenyum geli. Dia menempelkan hidungnya pada hidungku dan mengelus kepalaku lembut. Sialan. Inilah sisi manis Lea yang tak bisa ku abaikan.
"Oh ya, kurasa aku juga akan buat cerita tentangnya. Sebagai bonus hadiah"
"Tak usah!"
Lea tertawa.
"Yah aku cuma bisa menulis sih. I'm not expertise in making things so special for a special moment"
Kata Lea mengangkat bahu. Dia tidak menggubris laranganku.
"Kubilang ga usah! Kamu yang spesial Lea. Bukan dia!!"
Lea lagi lagi tertawa.
***
"Hei, ini" Hasa memberikan sebuah plastik berisi bungkusan kado. Setelah Lea menyodorkan hadiahnya.
"Apa ini?" Lea mengubek isi plastik itu.
"Hadiah buatmu juga. Oh. tunggu sebentar"
Dia mengeluarkan sebuah kotak hitam, di dalam nya terdapat sepasang jam tangan hitam. Dia mengeluarkan salah satunya
"belum punya jam kan?"
Aku terdiam membatu. Aku menatap Lea yang juga membatu.
Mozaik Enam
Mozaik Empat
Mozaik Tiga
//Pertahanan Kedua//
Hasa : [aku suka Aley]
Tentu saja aku sudah menduganya, semua pembicaraan ringan, semua perdebatan kecil, semua candaan, pujian bahkan curhatan, pada akhirnya akan berujung di kalimat sederhana itu. Aku sudah hafal pola pendekatan semacam itu, sebab tidak sedikit yang mendekati Lea. Hanya saja aku tetap tak tahu apa maksudnya.
Mozaik Dua
Mozaik Satu
//Rencana//
(Sudut Pandang Kuro, Kuro's POV)
Aku tak pernah ingat bagaimana, kapan dan dimana aku dilahirkan ke dunia ini. Tapi aku selalu tahu, mengapa aku bisa ada. Gadis itu adalah alasannya. Hanya dia satu satunya yang bisa membuatku mengetahui dengan jelas rupa kehidupan ini. Dan aku hanya satu satunya yang bisa mengenalinya.
Serpihan Sepuluh
Langganan:
Postingan (Atom)
1 komentar:
Posting Komentar