Mozaik Dua

//Pertahanan Pertama//


Malam ini Lea terlihat begitu tidak fokus. Meskipun ekspresinya sama saja, tapi aku tahu, konsentrasinya amat berantakan. Tiga hari ini, dia sudah ratusan kali mengecek ponselnya lalu mendesah panjang.

"hei! Lea..Lea!! itu air teh!" protesku saat kulihat Lea menuangkan teh pada mangkuk minumanku. Padahal dia tahu, aku tak pernah minum teh.

"oh..hehe" 
Tanpa berkomentar apapun, Lea mengganti teh di mangkuk dengan air susu. Dia kemudian mengelus kepala dan daguku sambil memasang cengir anehnya. Itu caranya menunjukan kata "maaf" padaku.

"apa apa?"
Aku menatapnya lekat. Lea sempat membuka mulutnya, namun ia mengatupkannya lagi. Tak jadi berbicara, ia hanya menggelengkan kepalanya. Jika sudah begitu, berarti ada hal yang sanggat mengganggu pikiran Lea.

Ini akan sulit. Aku harus memancingnya bicara.

"Apa soal Hasa?"  aku yakin dugaanku tak salah, dia pasti sedang berulah. Lea terdiam lama tak menjawab.

Belakangan, Lea berkomunikasi intens dengannya. Lea seolah punya rutinitas baru sepulang kerja, entah itu membicarakan hal absurd, mendiskusikan soal manusia atau sekedar menceritakan pengalamannya. Dan Hasa, (entah sejak kapan) sudah otomatis menjadi pengisi agenda rutinitasnya itu.

Tapi aku tahu, Hasa bukanlah orang yang mudah. Maksudku, dia adalah orang yang tak terduga. Tidak seperti Lea yang tertata, Hasa selalu punya cara yang berbeda dalam menghadapi orang disekitarnya. Dua hal yang membuatku membiarkan Hasa mendekati Lea. Satu, untuk membuatnya menyukai Lea tentu saja. Dua, untuk membuat Lea paham soal perasaannya sendiri. Lea bukannya tidak tahu soal perasaan, tapi entah sejak kapan dia terbiasa mengabaikan perasaanya. Bahkan dia tak pernah sadar apa yang sedang dirasakannya. Dia hanya akan sering tersenyum ketika merasa baik baik saja, dan menangis ketika merasa tidak baik baik saja.

"Hm, kenapa lagi dengannya?" aku bertanya lagi, namun masih fokus meneguk susu murni favoritku.

"Sudah lebih dari tiga hari dia berhenti menghubungiku, kurasa dia marah."

"memangnya marah karena apa?"

Lea mengangkat bahunya. 

"entahlah. hmm...yang kuingat, terakhir kali kita diskusi soal nilai keberadaan seseorang"

Aku yakin, ini adalah bentuk ketidakpekaan Lea yang lainnya. Salah satu kepolosan Lea  yang  bisa mengeksekusi orang  penting dihidupnya: dengan membuatnya ragu. Jarang sekali ada orang yang merasa punya nilai keberadaan di sisi Lea, sebab Lea tak pernah langsung menunjukannya kecuali padaku. Jika Hasa sudah enggan menghubungi Lea. Berarti selesai sudah. Polanya selalu sama.

Aku mendengus. 

"haah Lea bodoh"

"apaan maksudnya Kuro?"
Lea merengut kesal kearahku.

"aku tak tau kalian diakusi apa, tapi yang pasti kalau kau begini terus kau akan kehilangan banyak orang penting di hidupmu!"Kataku serius menceramahinya. 

Aku tak tahu kenapa, tapi aku tak mau dia bergantung selamanya padaku seperti yang dibayangkannya. Aku merasa kesalahan yang ada pada Lea, justru sebenarnya ada padaku.

Mata Lea terlihat berkaca kaca. Aku benar benar kaget melihatnya nyaris menangis. Apa ini periode sensitif nya Lea? Biasanya dia hanya akan menangis karena urusan sepele jika sedang PMS..

"eh.. kamu nangis?" aku mulai panik. Tapi pride Lea masih tinggi, dia menggelengkan kepalanya, berusaha memasukan kembali air matanya. Padahal dia tak bisa menyembunyikan apapun dariku.

"apa aku salah ya?" tanya Lea parau. Aku malah semakin heran. Apa yang membuatnya harus menangis? Karena Hasa tidak mengubunginya? Yang benar saja..

Aku mencoba masuk dalam dekapan Lea. Aku menggosokan kepalaku pada lengannya, semoga dengan begini dia sedikit merasa lebih tenang.

"kenapa tak coba kau tanyakan langsung saja? aku yakin kau belum pernah menghubunginya duluan.."

Lea merengut lagi, menahan harga dirinya. Sulit sekali kalau Lea harus mengesampingkan pride-nya itu. Memang, aku yang mengajarkannya soal menjaga harga diri, tapi menurutku dia terlalu mengaplikasikannya.

"baiklah, terserah kau saja"

Aku loncat dari pangkuan Lea dan kembali pada mangkuk berisi susu favoritku. Kata "terserah" biasanya selalu berhasil membuat Lea berfikir dua kali. Meskipun aku yakin Lea masih akan menjaga gengsinya,  siam diam aku mengintai tingkah Lea. 

Sesuai dugaanku, Lea akhirnya mengambil ponselnya.

Lea : [Hei. kau sehat? masih hidup?]

Aku tersenyum puas dan mulai duduk manja di sampingnya. Ini momen pertama Lea mengalah, untuk meruntuhkan egonya. Aku yakin ini bukan karena aku bilang "terserah" tapi rasa penasaran Lea terhadap Hasa lebih besar dari gengsinya.

Lama tidak ada jawaban. Kalau Hasa mengabaikannya, dialah orang bodohnya.

Hasa : [Hahahahaha]

Lea : [ada yang lucu?]

Hasa : [Tdak. aku hanya senang kau menghubungiku 😆. Kupikir kau tidak akan peduli. Aku takut sekali kalau kau benar benar tak akan mencariku]

Lea : [Hah!?]

Hasa : [Ini jawabanku, Aley. Soal diskusi sebelumnya]

Lea : [jawaban apa? kamu menjawab dengan diam?]

Hasa : [jawabanku soal 'nilai keberadaan' seseorang. Intinya, jika orang itu punya 'nilai' maka keberadaannya akan jadi penting. Dan kalau hilang dia akan dicari karena bernilai atau penting, paham? berarti aku punya nilai keberadaan buatmu dong ya? hehehe]

Lea nyaris melemparkan ponselnya padaku, air mata yang tadi ia tahan, malah mengalir begitu saja. Kurasa itu air mata kekesalan, kekhawatiran, sekaligus rasa lega. Tapi Lea tidak menyadarinya.

"bodoh bisa bisanya membuatku menangis!" gumam Lea kesal.

Hasa : [Heh! bales dong]

Benarkan dugaanku? Hasa selalu punya cara yang unik untuk menjelaskan sesuatu. 

"bodo amat!" Lea merutukinya dan aku tertawa melihat tingkah Lea. 

"balas dong~ Lea" godaku memprovokasi.

Lea : [ -_- ]

Itu emoji favorite Lea ketika ia sudah kehabisan kata kata.

Hasa : [haha. kau tau? kamu tuh orang cerdas yang bodoh]

Aku semakin terbahak - bahak membaca balasannya. Dia orang ketiga yang berani menyebut Lea "bodoh" tanpa rasa bersalah setelah aku dan tante Alen. (tentu saja jika aku di hitung sebagai 'orang')

Lea memang pandai menyerap sebuah materi lalu memahaminya dengan cepat, tapi jika berhubungan dengan kepekaan sosial, dia hanya tahu teorinya saja. Dia sendiri pu tahu itu.

Kerenanya, Lea tak akan marah dibilang begitu, tapi harus kukatakan, dia menilai Lea dengan cukup akurat.

Lea : [yaya terserah -_-]

Hasa : [tapi bagus kok. jd seimbang. kau bisa jadi istri yang polos buatku tapi sosok ibu yang cerdas buat anak anaku]

Aku kagum pada kemampuannya menyelipkan rayuan dengan natural di kondisi semacam itu. Dia pasti berpengalaman. Tapi, Lea pun sudah tak asing dengan hal itu. Lea semacam memiliki antibodi untuk segala jenis rayuan. Dia sudah jelas sekali mengincar Lea, hanya saja aku belum tahu tujuan sebenarnya. Seriuskah? Hanya ingin menambah daftar pacar kah? atau baginya Lea itu sebagai korban rasa penasarannya? Dia bisa saja hanya ingin tahu bagaimana rasanya dekat dengan "gadis seperti Lea".

Lea : [hah!? siapa? 😞 ibu anakmu!?]

Hasa : [haha tentu saja kamu. Menurutmu apa aku punya kesempatan? Berapa persen kau percaya padaku?]

Lea : [aku cuma bisa percaya 17 % padamu]

Haha. Aku menyeringai, tentu saja kurang dari 50 % Dia pikir dengan merayunya, membuatnya mudah mendapatkan kepercayaan Lea? Salah besar.

Hasa : [seriiuuuss?]

Lea : [ya.]

Kupikir Hasa akan kecewa dan aku masih menang darinya.

Hasa : [hahaha aku senang]

Lea : [hah!?]

Hasa : [kupikir cuma nol koma sekian persen! ternyata lebih besar dari pada itu. aku punya kesempatan berarti!]

"Hahahahahahah" kali ini aku tak bisa menahan tawaku di depan Lea. Jelas sekali Lea menunjukan ekspresi kebingungan, wajahnya melongo. 

'Bagaimana bisa dia sepercaya diri itu!?pikirku jelas, dan aku yakin Lea juga berpikiran yang sama.

0 komentar: