Kepingan 86


//TANGANNYA//
Waktu melesat dengan lambat sekaligus cepat. Dua bulan sudah terlewati sejak Deklarasi Darso soal Takdir Tuhan. Dua bulan itu terasa lama karena banyak yang terjadi. Sudah tak terhitung seberapa kali Darso menganggu waktu liburku dengan pesan pesan singkatnya. Tak terhitung pula perdebatanku dengan Hasa karenanya. Tapi pada akhirnya dua bulan itu sudah berlalu.

Sayang sekali, Darso masih belum jera. Hanya saja, kali ini aku lebih sering bertemu Hasa. Semuanya selalu menjadi baik baik saja. Sekarangpun, Hasa mengunjungiku sambil membawa setumpuk camilan.
“Kau tahu? Jarang sekali tahu aku mengunjungi cewe sesering ini. Biasanya aku malas kalau harus keluar kota. Atau paling tidak cewe nya yang datang padaku.”
Aku tahu, makanya terima kasih.
“Haha. Aku bahkan pertama kali nya pernah mengunjungi rumah laki-laki. Di luar kota pula”
Balasku berbanding tebalik dengan batinku.
“Hahaha” Hasa tertawa namun terlihat kecewa. Sepertinya aku salah bicara.
Kemudian hening sejenak.
“Hei Aley..? Waktu kau bilang Kuro pergi… jadi kemana?”
Sial jangan bahas Kuro.
“Hm.. yaa… dia.. pergi saja”
Hasa bahkan tak pernah melihat Kuro, tapi dia benar-benar menganggap keberadaannya.
Lihat Kuro, satu satunya yang percaya padamu selain aku.
“Pergi bagaimana? Kenapa pergi memangnya? Dia bilang apa pas pergi?”
Rentetan pertanyaannya membuatku menggeleng keras.
Aku tak sanggup menceritakannya.
“Ayolah Aley… sharing.. gimana aku bisa tahu.. eh? Kau…”
“Jangan berbalik!”
Aku tak ingin dia melihat wajahku sekarang. Saat ini wajahku akan (amat) sangat tidak enak dipandang, apalagi Hasa pernah bilang dia paling tak tahan jika harus melihat perempuan menangis dengan wajahnya yang amat jelek. Dan aku bukan selebritis yang bisa mengkondisikan wajah dan menangis dengan cantik.
“kenapa nangis? Aku.. cuma ingin tahu soal Kuro..”
“Diamlah!!”
Hasa benar-benar diam untuk beberapa saat. Lalu suaranya turun oktaf, nadanya melembut dibandingkan nada normalnya berbicara.
“sudah, jangan nangis Aley.”
Aku menyerahkan catatan diariku padanya. Saat ini aku tak bisa bercerita, tapi jika dia ingin tahu… Dia boleh membaca catatanku.
“Aku hanya beri waktu 5 menit membacanya! Tidak boleh buka halaman lain! cuma soal Kuro!”
Tentu saja, catatan itu seperti tabung emosi milikku sendiri. Aku terbiasa menulis ketimbang berbicara, karena itu aku hanya bisa melepaskan emosiku melalui kata-kata. Tak peduli tersusun rapi atau tidak, tak peduli berdiksi kaya atau tidak, tak peduli berkualitas atau tidak. Itu semua hanya tentang apa yang kurasakan.
“sudah lima menit!”
Aku menarik catatanku, tapi tenaganya lebih kuat dariku, catatanku tak bergeming di tangannya.
“Sebentar lagi.”
Dia menghela nafas panjang saat mengembalikan catatan itu. Aku menoleh kearahnya dan dia membuang muka. Apa dia marah?
Dia diam begitu lama tanpa menoleh ke arahku. Kami saling diam dan tak bicara apa-apa. Aku takut.. Apa dia akan..
“Aley…” katanya pelan sekali.
“Hm?” Aku melihatnya masih membuang muka.
“Boleh aku pegang tanganmu? Sekali ini saja”
Seumur hidupku, aku tak pernah membayangkan hal semacam ini akan benar-bena terjadi. Bagiku yang cenderung menghindari kontak dengan orang banyak, berpegangan tangan hanyalah milik para artis pemain adegan film drama, atau orang –orang extrovert lainnya.
“sekali ini saja Aley” gumamnya lagi pelan. Dia membuka telapak tangannya.
Aku mengangguk menyambut tangannya. Genggamannya kuat dan hangat, mengalirkan daya listrik rendah keseluruh tubuhku. Dia seperti sedang mentransfer seluluh perasaannya melalui tangannya. Sedangkan aku merasa menerima tumpahan air hangat yang melimpah keseluruh tubuhku, membuat jantungku terpicu lebih kencang, dan air mataku meleleh begitu saja. Perasaan hangat sekonyong-konyong menyelimutiku dari ubun ubun hingga ujung kaki.
“kau.. jangan.. nangis”
“bodoh.. kau yang nangis Aley!”
Lalu kita terdiam lagi.
“terima kasih Aley”
Suara Hasa semakin pelan hinga nyaris berbisik.
Aku malah semakin menangis.
Harusnya aku yang berterima kasih.
Sore itu, senja terlihat manis.

0 komentar: