Kepingan 85


//Cinta Lainnya : Ibu Bagian 1//

Bagiku, sosok Ibu adalah sosok paling powerfull yang berada dalam tatanan ‘kerajaan rumah tangga.’ Sosok yang bahkan hawa keberadaannya begitu meresap ke akar kehidupan.
Menurutku, Ibuku sendiri punya sosok yang berani dan cerdik. Ibuku seorang diktator halus yang hebat, yang bahkan tak satupun berani membantah perintahnya. Dan aku, sebagai kakak tertua seperti ajudan diktator, yang mampu meneruskan perintahnya. Haha. Dan seperti gambaran Ibu-Ibu tipikal ‘pejuang’ lainnya, Ibuku pun punya target pencapaian tinggi dalam berburu  segala macam diskon dan promosi potongan harga. Asal tertera kata Discount, Sale atau Free, maka instingnya menajam seketika. Satu lagi kelebihan Ibuku, adalah kemampuannya memberikan multi-perintah (aku tak tahu istilah tepatnya apa) tapi saat inilah contohnya.
“Kak Lea, Ibu lelah sekali, hari ini masak kakak yang handle dulu ya?”
Ucap Ibu sambil merebahkan badannya di sofa ruang keluarga. Rautnya terlihat lelah setelah seharian mengikuti kegiatan pelatihan dari tempat kerjanya. Aku mengangguk takzim menuju dapur.
Di dapur, aku mendapati peralatan masak yang belum dicuci dan stok bahan makanan yang sudah habis. Perintah Ibu memang hanya satu : masak untuk makan siang. Tapi situasi menjadikannya multi-perintah yang berarti, aku harus : belanja, mencuci peralatan dapur, membereskan dapur baru mulai memasak.
Itulah kelebihan seorang Ibu.
Sosok seorang Ibu pastilah berbeda-beda, tapi Ibuku, adalah sosok yang paling melengkapi diriku. Jika aku acuh soal belanja, maka Ibu yang akan belanja. Jika aku enggan sering-sering menerima tamu, maka Ibu lah yang sering menjamu para tamu. Jika aku lebih sedang diam memperhatikan, maka Ibu lah yang selalu maju kedepan. Itu sebabnya, aku lebih sering dipanggil anak ‘ayah’ ketimbang anak Ibu, apalagi ‘anak mama’.
Tapi disisi lain, Ibu, bagiku adalah sosok pelari yang paling sulit terkejar.  
***
“Bu, minggu ini aku mampir kerumah Hasa, boleh?” tanyaku hati-hati pada Ibu.
Kunjungan pertamaku kerumah Hasa adalah mendadak, aku bahkan tak sempat meminta izin pada Ibu.
Ibuku mengernyitkan alisnya, aku yakin karena dua hal. Pertama, karena ini pertama kalinya anaknya izin mengunjungi rumah seorang laki-laki. Kedua, Ibuku hanya tahu hubunganku dengan Hasa sudah selesai.
“Em.. aku sudah baikan dengan Hasa” Aku hanya mampu mengklarifikasi hal kedua.
“Oh, baguslah, kalau sudah baikan. Pantas sudah lebih cerah” goda Ibu, mengambangkan permintaan izinku. Aku merengut.
“Menginap?” tanya Ibu lagi. Aku mengangguk sambil berdebar.
“Menginap di siapa?” Delik Ibu lagi.
“Em.. rumah kakaknya Hasa”
“Awas jangan merepotkan”
Aku menggeleng cepat.
“Jadi boleh?”
Ibuku mengangguk membuatku merasa sedikit lega.
“Tapi Ayah..”
Bagiku, Izin ke ayah akan lebih sulit lagi. Sebab aku pasti berakhir dengan mendengarkan ceramahnya. Itupun belum tentu mendapatkan izin.
“Biar Ibu kasih tahu ayah”
Senyumku mulai merekah.
“Hehe, makasih bu”
Aku langsung melesat menuju kamarku, cepat-cepat membalas pesan Hasa.
***
 Aku mengetuk pintu gerbang dengan kaku sambil sesekali menoleh kearah Hasa yang sedang memarkirkan motornya. Rasanya dia lembat sekali! Seolah sengaja bergerak dengan tempo slowmotion.
“Oh, neng
Ibu nya Hasa mengintip dari balik gerbang dan berbegas membuka gerbang rumahnya. Aku berusaha tersenyum menyematkan senyum paling manis yang jutru terlihat amat kaku. Hasa tiba-tiba sudah ada disampingku, menyambar lalu mencium tangan Ibunya. Ibunya membalas dengan mencium kedua pipi dan keningnya. “Manis sekali” pikirku, sebab jarang sekali anak laki-laki masih mau menerima kecupan Ibunya karena menjaga gengsi.
“Sehat, neng?” sapa Ibu Hasa, dan aku pun ikut mencium tangan beliau. Sepertinya Ibu Hasa masih belum ingat namaku, terlihat dari panggilannya yang hanya menyebutku neng.
Baru aku menarik nafas untuk ancang ancang menjawab, Ibu Hasa menarikku hingga tertunduk dan menempelkan kedua pipinya di kedua pipiku. Jantungku berdebar bukan main. Padahal dalam adat sunda, itu adalah ritual salaman yang lazim bagi perempuan. Cipika Cipiki anak zaman saat ini menyebutnya demikian. Tapi bagiku tetap terasa baru dan tabu. Hidungku nyaris merekah kesegala arah.
Momment itu menjadi satu satunya salam yang paling dekat yang aku lakukan dengan Ibu nya Hasa.
“Ayo masuk, tapi Ibu ngga masak apa apa neng
Ibu Hasa kembali mencairkanku yang sejenak membeku, Hasa sendiri sudah berada di dalam rumah menyambar apa saja yang ada di meja makan.
Aku mengikuti Ibu Hasa menuju ruang keluarga, padahal sebelumnya aku hanya berdiam diruang tamu.
“Yah, nggak masak bu haji?” Suara hasa terdengar kecewa mendapati meja makannya bersih. Hasa sering bercanda dengan memanggil Ibunya dengan sebutan Ibu haji.
“Nggak, habisnya tanggung, mau makan apa atuh nanti biar Ibu masak” jawab Ibu dengan aksen sundanya.
“Ngga apa apa nanti keluar aja beli makan, Ibu nggak mau nitip kan ya”
“Mau beli apa, memangnya?”
“ Ah belum tahu, pokonya nanti aja diluar, beli bakso paling”
“Beli yang di tempat yang itu tea atuh”
“Yang itu tea yang mana ah bu haji”
Percakapan anak dan Ibu itu terlihat akrab dan ringan. Rasa gugup dan kaku sejenak mereda dari batinku.
“Aley, temani Ibu dulu ya!”
“Iya hayu kita kedepan saja ke toko.”
Aku mengikuti Ibu Hasa menjaga toko yang Ia rintis sudah lama.
“Gimana mengajarnya?”
Ibu Hasa memulai pembicaraan sambil membereskan beberapa stok penjualannya.
“Um..masih libur bu kalau sekarang”
“Oh iya ya..beda dengan sekolah SD yang sudah masuk ya..”
Ibu Hasa terlihat anggun sebab tertawa kecil yang entah kenapa membuat atmosfer kali ini tidak sekaku pertemuan pertama. Meski Hasa (lagi-lagi) menghilang entah kemana, tapi kali ini pembicaraan dengan Ibu Hasa mengalir begitu saja.
“Katanya hari ini mau mengunjungi rumah baru kak Renren ya?”
Aku mengangguk. Memang rencananya begitu. Meski sebelumnya pernah di kenalkan dengan kak Renren, tapi malam ini aku akan menginap dirumah barunya. Aku mulai teringat perasaan canggung lagi.
“Iya mending menginap di Kak Renren saja, daripada menginap di teman kan khawatir”
Aku hanya tersenyum saja. Menurutku sama saja canggungnya, sebab kota ini wilayah yang tak ku kenal sama sekali.
“Kak Renren itu menantu Ibu yang paling akrab dengan Hasa, wah kalau kemana-mana dengan mereka mah, selalu ada saja cerita”
Lalu dimulai lah Ibu Hasa bercerita soal kak Redi dan kak Ren-rn dengan gaya berceritanya yang khas dan persis dengan Hasa. Ibu Hasa bercerita dari masa kecil kak Redi, masa remaja hingga komplit saat mau menikah dengan kak Renren. Alih alih terfokus pada ceritanya, aku malah terkesima dengan cara Ibu Hasa berbicara dan tertawa. Hangat. Pikirku.
Dirumahku, aku jarang pernah ada waktu bercerita soal masing-masing Individu. Bagiku, yang tak asing dari pembicaraan Ibuku adalah perintah-perintahnya untuk bisa jadi wanita kuat dan dari pembicaraan ayahku adalah nasehat nasehatnya agar jadi wanita yang penyabar. Aku tak akan pernah tahu bagaimana kisah cinta Ibu dan Ayahku jika tidak ada tante Alen yang memberitahu. Aku juga tak pernah tahu bagaimana kenakalan kenakalan masa kecilku dimata Ibu. Aku bahkan tak pernah tahu detil cerita setiap momen di sudut rumahku  yang diluar ingatanku sendiri. 
Melihat mata Ibu Hasa berbinar saat berkata “Redi itu saat muda tampan, tapi tegas, banyak temannya segan, tapi Renren itu ceria, sering bercanda, haha” Matanya benar-benar seperti seorang Ibu yang bangga pada anaknya.
Aku hanya bisa mengangguk takzim sambil tersenyum.
Diam – diam aku bertanya, apa Ibu pernah menceritakanku dengan mata yang seperti itu?
***
Suara derung motor membuyarkan fantasi dan percakapanku dengan Ibu Hasa. Hasa mengetuk pintu gerbangnya, Ibu Hasa dengan gesit sudah berada di depan gerbang membukakan pintu.
“Darimana? si neng meni ditinggal. Bukannya mau beli makan?”
Aku melihat arloji di pergelangan tanganku, jam menunjukan pukul dua siang. Tak terasa sudah empat jam aku dan Ibu Hasa berbincang. Ah, lebih tepatnya Ibu Hasa bercerita dan aku mendengarkan.
“Habis dipanggil dari kantor tadi. Iya habis ini kita cari makan ya neng Aley?”
Ucap Hasa mengikuti Ibunya memanggilku dengan emeb-embel ‘neng.’ Uratku berkedut di kening, jadi dia sejak tadi bekerja? Padahal sebelumnya dia bilang sedang libur, mau menghabiskan waktu denganku saja katanya. Aku memutar bola mata.
Hasa sekonyong konyong masuk kedalam rumah.
“Akhir-akhir ini Hasa sering di suruh bekerja di waktu liburnya, bahkan pernah di susul malam-malam cuman buat bekerja. Halah, yang lainnya mah ga bisa apa apa di kantor. Padahal kalau Hasa yang mengerjakan. Lima menit saja beres.”
Aku melihat sosok Ibu yang sedang membela anaknya.
Aku tersenyum geli. Kesalku pada Hasa terhapuskan seketika.

0 komentar: