Kepingan 83

//Cinta lainnya : Ibu bagian 3//

Malam ini, keluarga Hasa berkumpul di ruang tengah. Ada Ibu Hasa, ada Kak Redi dan Istrinya Kak Renren, kak Kiki dan istrinya kak Nia juga anak-anaknya Jafi dan Rafi. Suasana yang ramai menentramkan.

“Wah ada si Mas tektek tuh! Aleya mau beli? Mie tek tek si mas disini enak lho!”
Tanya Kak Kiki ketika mendengar suara ketukan kayu tok tok tok yang khas. Aku tersenyum kering, bukan karena sungkan tapi karena perutku sudah penuh selepas sore tadi menjajak kuliner Baso dengan Hasa, rupanya topik kuliner dirumah ini tak akan ada habisnya.
“Oh iya, beli dong, ayah juga mau?” jawab kak Renren menimpali, sekaligus bertanya pada suaminya.
“Aku kenyang teh” ucapku jujur. Tak lucu kan kalau aku nantinya tak bisa bergerak karena kekenyangan.
“Enak loh Aleya, nanti nyesel ngga nyobain” desak Kak Kiki.
“Yah mau nggak?” Kak Renren masih mendesak suaminya juga.
“Nggak deh” jawab kak Redi pada kak Renren.
“Aku juga nggak, a, kenyang, tadi sudah makan baso dua porsi dengan Hasa”
“Bohong tuh, padahal masih mau, beli aja a” Hasa yang baru keluar dari kamarnya langsung masuk ke pembicaraan begitu saja. Aku memelototinya lagi.
“Ibu mau? Jadi siapa aja yang mau beli?” tanya Kak Kiki lagi, mulai mendata pesanan.
“Aku, dan Aley” Hasa mengajukan semaunya.
Kak Renren menangkap raut tersiksaku dan tertawa karenanya.
“Haha, Hasa mah  pemaksa ya, segitu Aleya udah bilang kenyang”
“Biarin teh biar dia perbaikan gizi, hahaha” Hasa tertawa lebih renyah dari kakaknya.
“Ah dasar! Aku dan Kak Redi ngga jadi pesan deh, ki, tadi juga sudah makan sih”
“Ibu juga ngga, udah makan tadi”
Akhirnya Kak Kiki memesan empat bungkus mie, untuk Kak Kiki sendiri, istrinya juga untukku dan Hasa. Saat mie sudah dihidangkan, aku mulai pasang wajah memelas agar Hasa membantuku menghabiskannya.
“Apa? Aku sudah makan banyak, tanggung jawab habiskan sendiri” sahutnya menjawab ekspresi wajahku.
Sialan. Tanggung jawab apanya! Padahal dia yang pesan.
Teh, ayo makan, coba deh” Aku meminta bantuan Kak Renren.
Kak Renren hanya tertawa lalu sejurus kemudian pergi kedapur membawa sendok.
Teteh mau ya”
Kalimatnya terasa seperti angin segar yang menghampiri ubun ubunku lalu mengelus perutku.
“Ciee, sepiring berdua.. Ciee yang bilangnya udah makan tapi ternyata masih mau”  ejek Hasa padaku dan Kak Renren, beruntung aku masih bisa menahan diri tidak menjitak kepalanya. Aku sadar diri aku sedang dikandangnya.
Tapi aku senang, Kak Renren juga Kakak Hasa yang lainnya, tidak se-canggung yang aku kira sebelumnya. Justru aku dibuat tenang oleh keramahan mereka.
“Duh, Ibu haji mah fokus wee ke sinetron”
Kali ini Hasa memindahkan target keusilannya pada Ibunya sendiri yang sedang khusyu’ menonton sinetron. Saking khusyu’ nya, beliau sama sekali tak menggubris celetukan Hasa.
“Deuh, satu panggilan tak terjawab”
Celetuk Hasa lagi, semua orang tertawa kecuali Ibu Hasa yang masih fokus dengan tayangan favoritnya.
“Ibu, si mas mi tek tek teh, aslinya orang mana?” pancing Hasa lagi
“........”
Masih tak ada respon, sebab klimaks sinetron lebih memikat Ibu Hasa.
“Dua panggilan tak terjawab, Heleh fokus terus sama sinetron”
Kami tertawa lagi.
“Bu....”
Panggil Hasa lebih kencang.
“Shhh... Itu si itunya kapanggih bohong tuh”
Jawab Ibu Hasa merujuk pada sinetron yang di tontonya. Aku mengartikan kalimatnya seolah : shhh. Ibi bagian sedang rame-ramenya.
“Tiga panggilan tak terjawab, eh panggilan ditolak deng”
Lagi-lagi kami semua tertawa melihat tingkah Hasa dan Ibunya.
“Kualat kau” bisikku pada Hasa.
“Kalau gitu kau juga bakal ikut kualat, karna ikutan tertawa”
Aku dan Hasa kembali tertawa. Ada emosi meluap yang tak terdefinisikan menjalar di seluruh tubuhku. Entah apa, tapi senyumku tak bisa berhenti terkembang karenanya.
***
“Hasa memang begitu ya, selalu bercanda, harus bisa maklum ya.. haha” komentar Ibu Hasa ketika aku dan beliau mulai bersiap tidur. Rupanya Ibu Hasa menyadari Hasa sedang menggodanya, tapi tetap memilih fokus pada sinetronnya.
“Iya justru seru bu...di rumah jadi terasa ramai”
“ya.. begitulah. Oh ya, Neng  Aleya tidur disini yaa” Sahut Ibu sambil menepuk-nepuk kasur bagian sebelah kanan.
“Lampunya dimatikan bu?” Aku tak tahu apakah Ibu Hasa terbiasa tidur dengan lampu menyala atau padam.
“Iya tak apa- apa dimatikan saja” Ibu Hasa mulai merebahkan tubuhnya di kasur bagian sebelah kiri. Aku mengekor.
“Meskipun satu ranjang, tapi kasurnya beda, yang Ibu tiduri ini kasur kapuk, coba pegang.. agak keras kan?”
“Oh.. Iya bu, gimana dong bu? Keras? Apa ditukar saja?” Gumamku pelan sekaligus kebingungan .
Eh.. tidak apa apa, justru Ibu tidur di kasur kapuk karena lebih enak, kalau sakit pinggang, lalu tidur di kasur ini,  jadi baikan.”
“Kalau kasur yang ditiduri Hasa di ruang tengah Itu kasur yang paling awet... sudah lama.. bahkan dari Hasa kecil”
Sepertinya Ibu Hasa masih menyimpan banyak stok cerita tentang berbagai hal yang terjadi dari hidupnya. Malam itu, aku mendengarkan cerita Ibu Hasa tentang kasur – kasur dirumahnya, lemari baju yang dulu dibakar, tentang teman kecilnya Ibu yang membantu urusan rumah tangga di rumahnya hingga memori Ibu soal abah, yang menjadi kakeknya Hasa, di tempat dagang.  Setelah itu, suara beliau menjadi samar dan memudar. Entah karena Ibu Hasa yang mulai mengantuk atau aku yang justru mulai kehilangan kesadaranku dan lelap ke alam mimpi. Aku tak begitu menyadari. Hanya saja aku tahu, malam itu menjadi malam ternyaman yang pernah aku habiskan di tempat yang justru baru bagiku.

0 komentar: