Kepingan 80

//Nyata//

Choosing between love and life is like choosing between fantasy and reality.

Sudah sejak lama aku percaya kalimat itu, bahwa cinta dan kehidupan adalah serupa air dan minyak yang sulit disatukan. Seperti halnya aku yang tak bisa hidup di kedua dunia yang ku ampu. Aku tak bisa memilih keduanya, tapi aku tak ingin pula memisahkan keduanya.
“Cinta sejati itu, satu berbanding seribu. Rata-rata manusia itu benar-benar jatuh cinta hanya satu kali, dan itupun belum pasti kalau si cintanya akan jadi pendamping hidup selamanya. Ada yang kandas, ada yang kehiangan. Ada yang berselingan jalan. Bermacam-macam. Tapi, kita bisa menumbuhkan cinta yang rasional...menerima bentuk cinta yang nyata”
Entah darimana tante Alen mendapatkan teori semacam itu. Entah apa pula maksudnya. Aku tak bisa mentrasformasi teori itu menjadi suatu definisi makna yang lebih tepat, keterbatasan pemahamanku hanya bisa menyimpulkan : rasa cinta yang sebenarnya itu, serupa mitos yang sulit ditemukan.
Kesimpulan itu menarikku pada hipotesa lainnya, bahwa mungkin aku tidak bisa jatuh cinta. Dan batinku meronta.
Demi meredakan ringkikan batinku, diam- diam aku menciptakan dunia kedua dengan ilusi cinta di dalamnya. Kuro adalah salah satu partikel porosnya. Namun, saat ini semuanya tercampur tiba-tiba. Dunia keduaku kini sekarat, dan aku tersoek-soek untuk kembali ke dunia nyata.
“Aley.. Aley!!!!” Hasa berteriak tepat di daun telingaku.
“Sudah kubilang jangan melamun sambil berjalan! Lalu simpan HP mu!” Hasa membentakku.  Menariku paksa kembali ke situasi saat ini. Aku merengut, menatap seseorang yang menjadi penglima pengacau dunia kedua ku.
“Kenapa wajahmu merengut begitu?”
Aku mendesah panjang. Saat ini, aku dan Hasa sedang berjalan-jalan di Alun-Alun Pusat Kota, bermaksud menghabiskan waktu berdua. Sayang sekali, kondisi tubuh dan pikiranku tidak sedang berjalan semestinya.
“Aleeey!!! Mau kemana! Belok kesini, kita kan mau ke tempat parkiran”
Hasa, menarik ranselku, wajah isengnya terlihat mulai kesal sebab harus mengingatkanku berulang kali. Dia sendiri terlihat berusaha mengontrol emosi.
“Oh, kupikir kesebelah sana”
“Dasar! Kau ini buta arah ya!”
Batinku tertohok. Tak ada yang salah dengan perkataan Hasa, sebab memang kecerdasan spasial ku sangat terbatas. Aku tak bisa membedakan rupa persimpangan jika tak ada tempat mencolok yang bisa kutandai. Aku tak cermat membaca arah peta jika tak ada nama yang kukenal tertera di peta itu. Aku sendiri bahkan tak sanggup menarik jalur dan membuat gambaran sebuah lokasi yang sudah berulang kali aku lewati.
Tapi aku tak pernah tersesat, ketenanganku bisa mengimbangi. Seberapa jauh dan berputar-putar jalan yang kulalui, aku selalu bisa sampai ketempat tujuan. Mungkin itu semacam kemampuan tersembunyi yang hanya berlaku untukku sendiri. Karena jika ada orang lain, aku bisa membuatnya panik setengah mati. Tana contohnya, dia tak pernah mau lagi berlibur hanya berdua denganku, sebab meski dengan panduan GPS, aku nyaris membawanya ke lembah pegununga padahal tujuan kita adalah tempat wisata instagram-able yang terletak di pusat kota.
 “Aley!!!! Fokus!!!” Suara baritone Hasa yang  mulai naik oktaf, mengagetkanku lagi.
“Hhhhh! Kita istirahat dulu saja disana”  Gumam Hasa frustasi, dia menunjuk sebuah baku di pinggir jalan dibawah bayangan pohon pinus dekat taman bunga akasia.
Aku tak bisa menunjukan ekspresi lain selain merengut. Tak ingin membuat Hasa kesal dengan wajahku, aku membuang muka.
“Ceroboh… Sering melamun.. Tidak teliti… Pelupa… Buta Arah,  hati-hati Aley!”  Hasa bergumam padaku sambil menselonjorkan kakinya. Dia menelengkupkan kudua telapak tangan ke wajahnya, seolah ingin meredam kalimat yang baru saja meluncur dari mulutnya. Aku memasang cengir kuda padanya, lalu kembali melempar pandanganku kearah lain.
Satu sisi, aku bersyukur Hasa tahu semua kekuranganku, dengan begitu dia tinggal memutuskan untuk menerimanya atau meninggalkannya. Di sisi lain, egoku masih merasa tersayat sayat sebab kekuranganku di lontarkan dengan gamblang lewat nada tinggi yang penuh kekesalan. Sebersit rasa takut kehilangan muncul lagi. Menyebalkan.. Hasa selalu muncul menjadi sisi horror dari drama hidupku.
“Hm… padahal dulu kupikir Aley, tipikal yang teliti pada hal detail haha” Dia berusaha mencairkan suasana, tapi aku justru merinding mendengarnya. Apa dia sedang mendeklarasikan kekecewaannya?
Aku menoleh kearahnya, lalu melempar senyum yang (bisa jadi) terlihat kecut dimatanya.
“Senyuum doang dari tadi haah… dasar Aley!”
Di membuang nafas panjang, memegang kepalaku lalu menggerakan tangannya seolah mengacak acak ubun-ubunku.
Aku tak bisa berkata-kata. Aku tak punya bantahan apapun atas kalimatnya dari awal hingga akhir. Satu – satu nya yang bisa kulakukan hanya perlahan mengantisipasi apa yang jadi ketidaksempurnaanku, dan aku tak bisa sendiri.
Bisakah dia menerima kelelahan yang lebih dari sebelumnya?
Aku menatapnya terlalu lekat, berharap menemukan sebuah suara yang sedang diutarakan hatinya, sebuah gambaran yang diproyeksikan otaknya. Aku ingin memahami segala hal dari sisinya, dan itu tak mudah.
“Kenapa melihatku begitu Aley?”
Dia mungkin sedikit risih sebab aku memandangnya terlalu lama. Ekspresinya terlihat sebagai campuran rasa penasaran dan rasa canggung. Melihat wajahnya, aku  mulai tergelitik untuk tersenyum sebagaimana mestinya.
“hehe..Nggak”
Jawabku menggelengkan kepala.
“Lapar ya… haha Ayo, kita beli makanan enak! Kita liat dulu makanan mana yang recommended  disekitar sini.” Senyuman paksa Hasa mulai mencair menjadi tawa.
Bisa. Dia sedang lebih dari sekedar berusaha untuk menerimaku.
Aku yang harus lebih berusaha kembali kedunia nyata.
Perlahan, sebuah dunia di titik balik pikiranku mulai retak, terambas menjadi serpihan yang berkeping-keping. Kepingan itu berterbangan, menelusup memasuki dunia lainnya yang baru, kembali terbentuk, tersusun menjadi istana berwarna. Bagiku, perasaan cinta kini terasa lebih nyata.
Tak ada lagi fantasi Hasa membuatku sedikit bertransformasi.
***
“Hayoh!!!”  Tante Alen tiba-tiba muncul dengan mukena putihnya yang sengaja ia juntai hanya untuk mengagetkanku. Aku menoleh biasa saja, tanpa ekspresi tanpa tawa.
“Yaaah, kupikir sedang melamun, biasanya kalau sudah menyendiri kan pasti menghayal kesana kemari”
Aku tertawa.
“Sedang apa? Mantengin GPS gitu?”
“Hmm… sedang belajar”
“Lah? Belajar apaa?” Tante Alen sekonyong- konyong duduk disampingku.
“Melacak jalur jalan kehidupan” ucapku asal sambil tertawa.
Tante Alen, memajukan bibirnya dan mencibir meniru ucapanku dengan gaya yang kegenitan. Aku semakin tertawa.
Meski tertatih-tatih, aku mulai bisa berhenti melayangkan pikiranku kedalam kisah antah berantah yang maya. Aku mulai belajar mengenal tempat-tempat yang pernah kukunjungi. Aku mulai menata memori, memasang teralis terpisah dengan kubik imajjinasi. Aku mulai berhenti menunda segala macam mommen di kehidupan nyata. Aku mulai mencatat kembali setiap detil yang harus kulakukan. Aku mulai memperhatikan. Dan perlahan, Aku bisa meraba setiap warna dan suara disekitarku yang menjadi nyata.

Terima Kasih.

0 komentar: