Kepingan 96


//Restart//

Seandainya di setiap kehidupan ada tombol restart..

Malam sudah larut, aku dan Hasa sedang berada di penghujung perjalanan terakhir kita. Teori distrorsi waktu mulai bekerja, perjalanan tiga hari ini terasa hanya tiga jam. Aku tak tahu harus bagaimana. Bola mataku tertarik untuk meliriknya sesering mungkin. Apa yang sedang dia pikirkan?

Disampingku, dia terlihat amat kelelahan, matanya mulai memerah, mulutnya tak berhenti menguap nyaris di setiap menit. Sesekali dia meregangkan ototnya sambil berhati-hati memeggang stir mobil. Bodoh. Apa yang sebenarnya sedang kau rencanakan?

“Hei...”

Keheningan yang sudah lekat dan lama tiba-tiba terpecah oleh suara baritone nya.

“hm?”

Kepalaku berputar kearahnya, garis bibirnya seolah mengucapkan sesuatu, tapi aku tak bisa menangkapnya dengan jelas.

“Hei..

Aku lelah menghadapimu.  Begitulah yang kudengar.  Badanku mendadak tersengat listrik.

“Hah apa!?”

“Istirahat dulu sebentar ya, aku ngantuk” ulangnya lagi.

“Oh...oke”  aku mengangguk padanya, lalu perasaan tersengat listrik itu tiba-tiba menguap entah kemana.

Perlahan dia membelokkan mobilnya memasuki rest area. Setelah parkir, dia merebahkan badannya sejenak, sementara aku membuka jendela mobil untuk menghirup angin malam.

Semakin dekat dengan kota tujuan aku justru semakin takut.

Itu namanya ketakutan kehilangan, Lea
Aku mendapati kuro sudah duduk di pangkuanku.

“kau sudah tidak marah?”

entahlah

“apa yang harus kulakukan sekarang kuro?”

tak ada Lea, kau tidak bisa berbuat apa apa. Biarkan dia yang melakukan apapun yang dia inginkan.”

Rasanya ada kalimat yang salah dari ucapan kuro, tapi aku tak paham bagian mana yang salahnya.

“tapi kuro..dia sudah melakukan banyak hal”

tidak Lea, dia sudah menyerah. Ingat? Tapi... membuatmu menjadi se-lemah ini, aku yakin ini suatu prestasi baginya. Jadi, Cukup biarkan dia melakukan apapun yang di inginkannya.

“Hei Lea, boleh tolong pijat lenganku? Sepertinya kram”
Hasa terbangun dari istirahat sejenaknya. Dia menatapku dengan tatapan memohon yang bercampur kelelahan. Aku menatap Kuro, meminta persetujuan.

Sekarang, kau pun. Lakukan apa yang kau mau lakukan  bisik Kuro sambil kembali meringsek ke tas selempangku.

Aku menghampiri Hasa, memenuhi permintaanya.

“Terima kasih Lea, kau berbakat jadi tukang pijit ya! Hahaha” candanya seperti biasa, aku hanya tersenyum getir.

“Hei, Lea.”

Hasa menggeser tempat duduknya menghadap kearahku. Dia menatap serius kearahku, samar-samar aku mendengarnya menghela nafas berat lalu  ia membuang pandangannya beralih menatap ke stir mobil.

“Lea... apa kita menikah saja ya? haha”
Cara bicaranya selalu begitu, terdengar ringan dan semaunya, tapi kali ini kalimat yang ia ucapkan terdengar seperti gaung yang berat di telingaku.

“hah!?”

“yah...aku cuma..entahlah, lagipula ibuku menyukaimu...bagaimana?”

Aku tak pernah tahu kapan dia sedang serius kapan dia sedang bercanda. Kapan dia sedang jujur kapan dia sedang menguji. Mungkin aku tak pernah benar-benar memperhatikannya. Hanya  saja aku dibuat tergelitik mendengar kalimatnya. Angin malam kali ini menjadi terasa sesejuk angin pagi.

Telinga Kuro pun langsung berdiri mendengar kalimatnya itu. Tapi dia masih tetap mempertahankan posisinya di dalam tasku.

“Haha, memangnya menikah itu mudah”

Kekhawatiranku di tiga hari kebelakang mendadak luntur. Aku bisa kembali bicara dengan nada bercanda.

“hahaha..benar, tapi ya makanya nabung .... oke?”

Aku mengangguk tertawa. Seandainya itu bercanda, itu adalah kebohongan paling menyenangkan yang pernah kudengar. Dan seandainya itu serius, itu adalah kalimat  yang paling ingin kudengar darinya.

0 komentar: