Kepingan 89


//KURO//
Aku tak pernah ingat sejak kapan Kuro ada. Aku hanya tahu dia benar-benar bagian terpenting dalam hidupku. Saat aku menangis, dia yang memelukku, saat aku marah dia yang melampiaskannya untukku, dan saat aku ketakutan dia yang akan maju melindungiku. Hanya dengan memikirkan bahwa dia tak ada di sisiku, sudah akan membuatku kalut.

kau gadis yang kuat Lea. Paling kuat!”
Dia selalu memujiku seperti itu.
tak apa Lea. Kau sudah berusaha! Mereka saja yang tidak bisa memahamimu”
Dia selalu membelaku seperti itu.
jangan gegabah Lea. Kau harus memahami mereka dulu. Lihat apa yang mereka lakukan”
Dia selalu menenangkanku seperti itu.
jangan terlibat dengannya Lea.”
Dia selalu mewanti-wanti ku seperti itu.
biarkan Lea, dia akan mundur dengan sendirinya
Kalimatnya selalu meredakan ketakutanku saat terkena masalah.
coba bicara Lea. Ini tak bisa hanya diperhatikan dan dibiarkan
Dia selalu memberiku solusi, kapan aku harus bertindak dan kapan aku harus mengamati.
tenang saja, aku sayang padamu Lea!
Dia satu-satunya yang mengatakan cinta dan menunjukkannya secara jelas padaku.
kau tidak sendiri Lea”
Dia yang selalu memelukku ketika aku menangis.
Heh! Raise up your butt! Then do something!
Dia selalu marah jika aku bermalas-malasan.
Hmm.. kurasa harus...
Dia yang selalu menjawab ketika aku kebingungan soal apa yang harus aku lakukan.
Tapi pada dasarnya, Kuro adalah keberadaan yang tidak ada.
***
Pagi-pagi sekali, aku melihat aliran sungai yang begitu deras dari sebuah jembatan. Orang-orang di kota ini selalu menyebutnya caah. Aliran yang deras dan tak tertahankan, dia menyapu benda apa saja yang ada disungai dan membawa dengan paksa ke muara.
Pikiranku sama derasnya. Aku mengingat kembali semua tentang Kuro, menarik paksa semua kepingan-kepingan ingatan yang berhubungan dengannya. Kuro sendiri sedang ada bersamaku, dia terlelap dengan dengkuran keras setelah semalaman menemaniku menangis sepuasnya. Dia terlihat nyenyak dan damai tertidur di dalam tas selempangku.
Aku mulai menyadari, kuro adalah sisi lain dari diriku.
Dia adalah sisi yang mampu menyimpan luka terbanyak yang aku rasakan, lalu terus menerus mengingatkanku soal luka itu demi tidak lagi terluka di tempat dan kesalahan yang sama.
Dia adalah sisi yang tak bisa mentolerir kekurangan orang lain terhadapku agar aku tak pernah merasa kecewa.
Dia adalah sisi yang mampu memodifikasi kebenaran demi membuatku terlihat baik dan baik-baik saja dihadapan dunia.
Dia adalah sisi yang mampu menutup rapat emosiku agar tetap bisa tenang dan tegar menghadapi semua rasa takutku.
Dia adalah sisi kepura-puraan yang bisa membuat setiap orang mempercayaiku dan berada disekitarku agar aku tak sendirian.
***
“Lea, sepertinya Darso suka padamu” ucap Rendra.
“yang benar saja, dia sudah menikah!” balasku kesal.
Rumor semacam itu sepertinya mulai memenuhi ruang gosip di dapur kantor. Rekan-rekan timku, Revan dan Loki tak ada yang berani mengatakan secara gamblang, kecuali dengan isyarat ‘ciee’ ‘ciee’ seperti remaja bodoh.
Istirahat siang kali ini, aku meninggalkan kantor. Pikiranku sudah riuh dengan Hasa dan Kuro, aku tak ingin urusan Darso ikut membuat pikiranku ribut.
Aku dan kuro berjalan bersama melewati jembatan yang sama yang pagi tadi aku lewati. Aliran sungainya sudah mereda.
“Sudah reda, padahal tadi pagi caah loh”
Kuro diam saja menatap sungai itu. Dia menghela nafas panjang yang berat. Lalu mulai bergumam pelan.
“Maafkan aku Lea”
Kali ini aku yang terdiam.
Meski tanpa kata, pikiran kita sudah lekat terkoneksi. Kita sudah saling memahami. Apapun yang ingin kita katakan saat ini, kita tahu dan hanya saling menunggu.
“Hei Kuro...”
Kuro lebih kuat menunggu daripada aku. Dia menoleh kearahku, memastikan ekspresi wajahku yang sudah memerah.
“Kurasa.. aku..”
Aku menarik nafas lagi.
Katakan saja Lea
Kata Kuro berusaha tersenyum tenang.
“Kalau kau sudah tahu kenapa harus kukatan! Berat tahu”
Kau sudah memutuskan, beranilah!”
Aku menarik nafas lebih dalam lagi.
“Aku.. melepasmu. Aku.. mau mempercayai Hasa”
Kataku lemah dan pelan.
Kali ini kuro yang menarik nafas, dia lalu tersenyum padaku. Senyuman yang paling menenangkan yang pernah kuro tunjukkan.
Kan? Kubilang juga apa.. haha ada waktunya kau harus melepasku
Aku hanya terdiam menahan air mataku.
Kau sudah memutuskan, jadi percayakan semuanya padanya.”
“Kau.. tidak keberatan?”
Kataku terisak. Kuro menggeleng lalu tertawa.
Dia bisa membuatmu melepaskanku. Dia hebat, Lea. Kau pun sekarang lebih berani, mungkin karenanya. Berusahalah terus percaya padanya, buat dia percaya padamu juga! Entahlah. Aku masih yakin dia membutuhkanmu juga seperti kau membutuhkannya.”
“Bagaimana jika...”
Kalau sudah percaya ya percaya! Jangan bertanya tanya lagi sepertiku. Pergilah! jam istirahat sudah selesai”
Aku terdiam menyeka air mataku yang tak  mau berhenti mengalir. Aku membalikkan badanku meninggalkan kuro yang menatap sungai terpaku.
Hei Lea!
Aku sontak berbalik lagi mendengarnya memanggilku.
Jangan lupa, kasih tahu si bodoh itu, kau sudah melepasku. Aku tak akan lagi mengganggu haha”
Aku mengangguk tertawa dengan air mata. Lalu kembali ke kantorku, hanya saja kali ini Kuro sudah tak mengikuti.
Tas selempangku terasa terlalu ringan.

0 komentar: