Kepingan 82


//Cinta lainnya : Ibu bagian 4//
Pagi itu, lagi-lagi Hasa mengirimiku kejutan listrik yang memicu jantungku. Sebuah pesan perintah dari Hasa masuk ke inbox ku.

Hasa : [Weekend ini temani Ibu belanja yaa Aley?]
Hasa : [Ya.. ya... yaaa?]
Hasa : [Kak Renren dan Kak Redi juga akan belanja]
Hasa : [Tapi aku tak ikut, ada kerjaan di kantorku]
Hasa : [Okee? Aleya baik deh, cantik pula]
Aku menepuk jidatku yang lebar sempurna. Padahal Hasa paling tahu aku adalah orang yang tidak bisa belanja.
Aleya : [Nanti Ibu malah tersesat di pusat perbelanjaan -_-]
Hasa : [Hahaha... tenang saja, Ibu punya Insting “Ibu-Ibu” yang tajam, gak akan tersesat lah!]
Aleya : [mau belanja apa memangnya?]
Hasa : [mau beli baju, tar bantu juga pilihkan]
Yang benar saja, aku hanya tahu selera fashionku sendiri yang stlye-nya ‘pokoknya tereserah aku’
Aleya : [mana bisaa -_-]
Hasa : [Bisa kook! Percaya. Nanti di jemput di gerbang tol ya!]
Hasa : [Aku sudah bilang ke Kak Renren juga, ini nomornya 08xxxxxxxx]
Hasa : [Nanti hubungi saja Kak Renren nya]
Aku tak bisa menolak permintaanya. Apalagi jika permintaannya bisa membuatku bertemu dengan Ibu.
Aleya : [Baiklah]
Hasa : [ Thaank you <3]
Aleya : [<3]
Aku buru-buru membuka search engine google dan mengetikan kalimat : tempat belanja rekomendasi di sekitar perbelanjaan Pasar Baru. Juga kalimat : model pakaian terbaru untuk Ibu-Ibu muslimah.
***
Dari gerbang tol, aku melihat sebuah mobil silver berpelat X melaju dengan kecepatan lambat dan mulai berhenti di depanku. Itu pasti mobil Kak Redi. Dan benar saja, tak lama setelah berhenti, jendela mobil depan bergeser turun menunjukan wajah wajah yang mulai tak asing lagi bagiku.
“Nunggu lama Aleya?” Tanya Kak Renren saat aku masuk mobilnya.
“Baru kok, Kak”
Aku duduk di bangku tengah bersama Ibunya Hasa, beliau terbalut dengan blouse panjang selutut berwana cream dan celana sayur cokelat dengan jilbab berwarna senada. Baju warna pastel dan netral menenjukkan karakter beliau yang begitu tenang. Bak seorang peneliti trend fashion, aku mengira – ngira baju seperti apa yang Ibu Hasa suka.
“Hari ini libur kan ya? Gak apa-apa ya temani ke Pasar baru?”
Ibu Hasa tersenyum lembut padaku.
“Oh iya libur bu, Gak apa apa, justru takut malah merepotkan hehe”
“Haha, engga atuh. Biasanya kalau libur di kosan kegiatannya apa?”
“Ya.. gitu aja bu, paling cuma bersih bersih atau internetan”
“Haha, iya sekalian istirahat ya..”
“Kalau Hasa mah Kerja rodi, libur saja masih ada kerja” Kak Renren ikut menimpali.
“Iya ya, gimana atuh itu kerjaannya teh ya..” Ibu Hasa terpacing, beliau menjawab berapi api.
“Hehe.. iya..” aku kehabisan kata-kata.
“Oh iya, Aleya dan Hasa itu dulu sekampus ya?” kak Renren memulai topik baru.
“Iya kak, tapi dulu di kampus gak kenal, gak pernah ketemu”
“Oh iya di summer camp itu yaaa, haha ciee”
Aku hanya tersenyum dengan muka memanas.
“Tapi dulu Hasa ngga sebesar sekarang ya?” celetuk Ibu Hasa loncat topik lagi. Sejenak aku ingin tertawa, mengapa Ibu Hasa beralih topik kesana. Tapi untunglah, kontrol tawaku masih berguna. Perawakan Hasa yang tinggi dan besar memang terlihat seperti diatas rata-rata umumnya orang Asia, yang membuat dia juga terlihat lebih tua ah.. dewasa dari usianya. 
“Ah, dari kelas tiga SD juga pertumbuhan Hasa sudah mulai cepat, makannya makin banyak pula”  Kali ini Kak Redi mulai bersuara.
“Tapi sebenarnya badannya fit, dia masih sanggup lari, masih kuat push up juga sebenarnya.. Cuma malas olahraga saja” Ibu Hasa menimpali lagi.
Aku hanya  terdiam menyerap percakapan itu untuk kuteruskan kembali kepada Hasa. Setelah topik soal perawakan Hasa selesai, pembicaraan beralih ke agenda kegiatan hari ini.
“Beli kue dulu di toko, terus mulai belanja, nanti aku sama Kak Redi, Ibu dengan Aleya, kita ketemu lagi di gerbang depannya, terus setelahnya baru kita ambil pesanan barang lalu makan siang ya?”
Sahut Kak Renren sambil mengingat ingat barangkali masih ada yang harus dilakukan atau dipesan. Kami semua hanya mengangguk setuju.
***
Di depan sebuah gapura besar bertuliskan Pasar Baru, Aku dan Kak Renren berpisah jalur, Ibu menggenggam tanganku dan menarikku memasuki area busana.
neng Aleya, kalau beli baju yang bagus dimana?” tanya Ibu Hasa sambil melihat barisan toko yang berjejer dan men-display busana yang hampir sama.
“kurang tahu bu, tapi katanya dilantai satu dan tiga bajunya bagus bagus”
“Oh ayo kesana”
Aku sering berbelanja dengan Ibuku, tapi tak pernah menjadi pemandu, sebab Ibuku lebih hafal medan perbelanjaan. Biasanya, Ibu hanya menanyakan pilihan baju yang lebih bagus, berkualitas juga terlihat seperti anak muda. Ibuku selalu ingin dipilihkan baju olehku, tapi beliau sendiri justru lebih suka memilihkan baju untukku.
Kali ini aku harus memandu juga memilihkan baju, aku benar benar bingung.
“Lebih bagus mana neng Aleya”
Ibu Hasa menunjukan sebuah gamis layer hitam dengan outer bercorak batik warna coklat di tangan sebelah kanannya dan gamis kuning dengan outer bercorak bunga matahari berwarna hitam di tangan sebelah kirinya.
“Yang kanan bu”  dimataku gamis kuning itu terlihat seperti kostum lebah.
Ibu Hasa mengambil lagi gamis dengan model serupa dan warna yang berbeda. Lalu beliau menanyakan pertanyaan yang sama. Meski sejenak bimbang, sebab perbedaannya tidak tertalu mentereng, aku tetap menyarankan setelan gamis yang pertama.
“Yasudah yang ini”
Sudah selesai kah?
“Kita cari yang lain lagi ya..” lanjut Ibu Hasa kembali menjajaki pertokoan busana.
“Mau cari baju gimana bu?”
Ibu Hasa terdiam berfikir beberapa saat.
“Hm.. untuk baju untuk ke undangan saja, terus Ibu mau cari kerudung dengan layer di dada, sama cari baju buat neng Lisa”
Aku tahu, Lisa adalah cucu Ibu dari puteri Ibu yang kedua, yang belum pernah aku temui sama sekali. Dia salah satu keponakan yang akrab dengan Hasa. Nama Lisa terkadang muncul diantara percakapan Hasa dan Ibunya.
Aku dan Ibu Hasa memutari satu persatu toko disana. Ibu Hasa berulangkali bertanya padaku, “tempat yang bajunya bagus dimana?” yang berarti tak satupun dari puluhan toko yang kulewati memiliki baju yang sesuai dengan keinginian Ibu Hasa. Termasuk toko yang aku tahu dari rekomendasi pencarian google.
Menjelang siang, akhirnya Ibu Hasa tertarik pada setelan busana terusan di sebuah toko, modelnya selalu sama, hanya coraknya saja yang berbeda. Pertama, Ibu Hasa memilih terusan dengan corak bunga hijau tosca, tenang dan elegan. Aku mengangguk tanda setuju. Tapi beberapa menit kemudian seorang pelanggan lain memilih corak daun dengan warna merah cerah. Ibu Hasa tertarik pula dengan corak itu, bagiku sendiri ada tiga corak yang menurutku cocok dan menarik, corak bunga hijau tosca, corak polkadot berwarna merah maroon dan corak abstrak berwarna pink biru.
Ibu Hasa diam diam memperhatikan pelanggan lain yang sedang memilih corak, dan aku diam diam memperhatikan beliau.  Seorang pelanggan memilih corak kerang berwarna putih gading, beliaupun menelaah corak kerang yang sama, lalu mempertimbangkannya.
“Corak ini bagus ya?” tanya Ibu menunjukan si baju bercorak kerang padaku. Aku mengangguk, meski masih memberi masukan soal corak bunga yang tosca. Tapi sebenarnya terserah selera ibu, pikirku ragu.
Pelanggan itu kembali memilih corak lainnya, Ibu Hasa mengikuti. Aku tertawa seolah mereka sedang berkompetisi menjadi juri penentuan corak fashion terbaik di tahun ini. Kompetisi itu usai setelah si pelanggan memutuskan untuk tak membeli terusan yang ia pilih dengan alasan tak ada diskon. “Iya padahal ditempat lain bisa lebih murah” Ibunya Hasa ikut memanasi.  Penjual toko itu tersenyum amat kecut.
Tapi dengan perginya pelanggan itu, Ibu Hasa bebas memilih corak yang telah tertandai sebelumnya, tanpa harus bersaing sebab hanya ada satu baju untuk setiap coraknya. Dan ada sekitar lima corak yang ditandai Ibu Hasa dan pelanggan yang sudah pergi, termasuk corak pertama yang Ibu Hasa tanyakan padaku. Ibunya Hasa terus mempertimbangkan pilihannya seolah sedang menentukan pilihan terpenting di kehidupan. Pada akhirnya Ibu Hasa memilih baju terusan corak bunga dengan warna tosca. Aku tertawa kering, memutar bola mata. The real Ibu-Ibu.
neng Aleya mau baju yang mana?” Ibu Hasa bertanya seraya merayapi toko busana lainnya.
Ibu memilih terusan model kelelawar berwana pink kecoklatan dengan pita di lengan.
“yang ini bagus kan? Suka tidak?”
Aku seperti sedang dipilihkan baju untukku sendiri. Ibuku juga selalu begitu. Aku mengangguk setuju. Aku mulai menelaah taraf kecocokan baju itu, kurasa akan bagus jika dipakai dengan rok atau kulot  berwarna gelap  dengan tambahan aksesoris belt kecil di pinggang. Oke, berarti aku harus beli belt kecil dan rok yang cocok dengan baju ini. Simpulan untuk fashion ku sendiri.
“terima kasih bu, maaf jadi merepotkan”
Gumamku ketika Ibu Hasa bersikeras membelikan baju itu untukku.
“Duh, tidak apa-apa, bagus kalau suka..”
“Oh ya bu, Hasa titip belikan training katanya, tadi mengirim pesan padaku”
“Jam berapa sekarang? Dimana beli trainingnya?”
“Jam dua belas lebih, tempat beli training di toko dekat pintu belakang pasar bu”
“Ah, sudah terlalu siang, biar nanti dia cari sendiri saja, ayo kita kesana! Cari baju buat neng Lisa”
Ibu Hasa menunjuk segerombolan Ibu-Ibu yang sedang berdesakan berburu baju yang sedang didiskon besar besaran. Oh my... here we go..
Aku tak pernah tahu bahwa perjuangan Ibu-Ibu untuk mendapatkan baju yang bagus dan murah begitu getir namun cerdas. Selain hanya berdesakan, berhimpitan dan berebut baju kesana kemari, berbagai skill professional juga amat sangat dibutuhkan pada situasi ini: skill menyelinap, skill bergerak cepat, skill negosiasi untuk menawar harga (yang padahal sudah jelas di diskon), skill  matematis untuk menghitung kalkulasi harga dengan cepat hingga skill  memanipulasi lawan agar tidak memilih barang yang kita inginkan.
Biasanya aku tak pernah mau terlibat langsung dengan euforia Ibu ibu yang berburu diskon, tapi kali ini aku ditarik langsung oleh Ibu Hasa seolah pejuang baru yang di training untuk mengenali medan perang.
Masih tersisa sedikit nafas terengah ketika aku bertemu Kak Renren di gerbang depan.
“Cape Aleya?”
Aku hanya terkekeh menjawab pertanyaan Kak Renren. Aku baru saja berjuang Kak.
***
“Ini lap untuk neng  Aleya” Ibu menyerahkan lap tangan saat makan siang. Aku benar benar merasa diperhatikan bahkan hingga hal terkecil serupa Lap tangan.
Percakapan saat makan siang pun masih di dominasi oleh cerita kenakalan kenakalan Hasa sewaktu kecil juga tentang betapa akrabnya Hasa dengan keponakan keponakan kecilnya.
“Biar wajahnya seram juga, anak-anak justru apet ke Hasa. Sampai tidurpun selalu pengen bareng Hasa” sahut Ibu Hasa berbangga padaku. Aku mengagguk.
Bahkan tanpa Hasa pun, keluarganya masih dengan senang menceritakannya. Mereka seolah dengan jelas mendeklarasikan kasih sayangnya pada Hasa, dan dunia harus tahu bahwa Hasa itu Istimewa.
Aku bersyukur bisa tahu itu. Untung saja hari ini aku ikut berbelanja..

0 komentar: