Kepingan 95


//BARU//

“Istirahatlah, besok kau kan mulai bekerja di tempat baru. Kehidupan baru, hehe”

Usai menyimpan barang-barangku di asrama, Hasa langsung berpamitan pulang ke kotanya. Aku bahkan tak bisa memberinya jeda untuk istirahat sejenak karena asramaku tak menerima pengunjung di jam malam. Aku yakin dia pasti amat kelelahan.

Perasaanku bercampur aduk melihat mobilnya mulai melaju. Aku sendiri tak tahu apa yang barusan sedang terjadi tadi.
Semalaman, aku dan kuro hanya saling bersitatap tanpa bicara. Tentu saja kami tak bisa tidur begitu saja. Aku merasa amat bahagia, tapi Kuro tidak. Dia justru semakin awas dari biasanya. Meskipun diam, aku sangat tahu bahwa Kuro mencoba menebak bagaimana jalan pikiran Hasa. Kuro, tidak bisa kah kau mempercayainya saja?

***

Esok paginya aku mulai di kenalkan dengan rekan-rekan kerja di tempat baru.  Seperti kebiasaanku, aku mulai mengamati mereka satu persatu. Satu diantara empat rekan kerjaku adalah gadis bernama Aira. Sisanya laki-laki, yang menurutku memiliki tingkat “keganjenan” yang nyaris sama. Tapi aku sudah pernah dihadapkan dengan Hasa, yang seratus kali lipat lebih cerdik merayu wanita. Itu membuat rayuan mereka terdengar biasa.

Sementara aku mulai bekerja, komunikasiku dengan Hasa kembali berjalan baik baik saja.

“Jadi, Aleya, kamu cantik, sayang loh kalau belum punya pasangan, atau sudah punya pasangan?” Tanya Revan sekali waktu, rupanya dia mulai melancarkan aksinya, dan aku menjadi salah satu dari sekian ribu targetnya.

“jangan diganggu, dia sudah punya, hahaha” jawab Darso, ketua tim divisi di pekerjaanku. Dia rekan kerja ku yang paling tua dan berusaha sok muda dengan gayanya.

“siapa memangnya? Sudah mau menikah memangnya? Kok Darso tahu?” cecar Revan

“tahu dong, pasangan Aleya orang kota sebrang. Ah.. apasih yang ngga aku tahu soal timku hahaha..?” lagi-lagi Darso yang menjawabnya sambil tertawa bangga, aku hanya memutar bola mata.

“yahh.. sayang sekali dong, tapi kalau aku usaha masih boleh lah yaa? haha” sahut Revan, ketiga pria itu tertawa. Aku cukup tersenyum saja.

 “Sabar ya, Aleya, mereka memang begitu bercandanya”

Awalnya kupikir Aira tipikal yang jutek dan tak banyak bicara, tapi ternyata dia gadis polos yang lembut dan penurut. Dia mengenalkan padaku rekan kerjanya satu persatu.

“Itu revan, dia bekerja di bagian IT dengan Loki, dua-duanya jomblo akut. Tapi, revan lebih emm.. aktif... jadi yaa, biasakan saja ya. Loki lebih pendiam. Keduanya bertugas di kantor lantai dua. Tapi biasanya kalau jam istirahat mereka tidur di ruang kosong di Lantai tiga” jelas Aira

“maksudmu agresif? haha” aku mengoreksi kata “aktif” yang kudengar.

“hmm.. itu terlalu.. gimana ya.. haha.. tapi yaa kira-kira begitulah”

Sudah kuduga, Aira tipikal anak yang baik. Bahkan kata ‘agresif’ terdengar tabu baginya.

“Nah, kalau itu Darso, ketua tim. Dia sudah menikah. Tapi selalu bercanda seperti Revan. Dia sangat baik dan perhatian pada tim nya. Dia bahkan memperharikan urusan detail setiap timnya. Dia juga bekerja di kantor lantai dua. Nah, kalau kita akan bekerja disini, di kantor lantai satu.Biasanya Loki dan Revan bergilir membantu disini, Darso juga kadang ikut turun tangan.”

Aku mengangguk takjim mendengarkan penjelasan Aira.
“Baigamana dengan jobdesk pekerjaannya?” tanyaku pada Aira.

"Yah, administratif seperti biasa"

Dari penjelasan Aira, pekerjaan disini tidak seketat pekerjaan di perusahaanku sebelumnya. Aira bilang, basis kekeluargaan yang diterapkan sangat kental. Menurutnya, keakraban diantara setiap rekan kerja benar-benar terasa seperti keluarga.

Sayang sekali, belakangan aku tahu bahwa Aira akan berhenti bekerja sebab Ia akan menikah dan fokus berumah tangga. Aku ditinggalkan bersama tiga kawanan pria yang terlalu sering gombal bercanda.

***

Hasa : Kau jangan terlalu dekat dengan mereka, Aley.

Aku suka ketika Hasa kembali memanggilku dengan panggilan itu, aku merasa akrab lagi dengannya.

Kau senyum-senyum sendiri lagi Lea,” 

Kuro terduduk di sampingku saat jam makan siang. Jika tidak ada Aira, aku terlalu canggung untuk makan siang di kantor, sebab tak ada perempuan sama sekali disana.

Dia sedang mengaturmu Lea. Kalian bahkan tak punya hubungan apapun lagi”

Aku merengut gara-gara komentar kuro. Ucapannya membuat makananku jadi terasa hambar. Sejak bertemu kembali dengan Hasa, aku merasa telah kehilangan separuh keramahan Kuro. Aku sangat tahu alasannya, kuro tidak ingin aku kembali terjebak pada perasaan terluka yang sama.

Itu sebabnya kuro selalu mengingatkanku soal prinsip yang pernah kukatakan dulu. “Sekalinya aku kecewa, tak ada kesempatan kedua” prinsip itu bahkan berlaku untuk diriku sendiri. Karena itu, dibandingkan membuat kecewa, aku cenderung tak melakukan apapun yang beresiko tinggi dan mengecewakan.

Tapi, kali ini aku ingin kesempatan kedua.

“Kau memang benar kuro... tapi...”

Lea, setiap orang tak punya hak untuk mengatur sesuatu yang bukan milik atau kepentingannya, terlebih lagi sesuatu yang ia sendiri sudah buang.”

Sebelumnya, Kuro tak pernah semarah ini padaku. Dia bisa saja marah pada orang yang membuatku murka. Dia juga bisa gencar memaki pada orang yang aku benci. Tapi dia tak pernah marah atau membenciku. Air mataku mulai menggenang.

Aku tidak membencimu Lea, aku hanya kesal sebab aku tak bisa berbuat apa apa. Kau tau Lea.....”

“........” dia terdiam lama.

“ah sudahlah. Jam istirahat sudah selesai. Ayo kembali”

Dia membiarkan kalimatnya menggantung tak terselesaikan. Tanpa menoleh , Kuro berjalan melenggang di depanku.

Bohong kalau aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Aku menengadahkan kepalaku, berusaha menahan air mata agar tidak meluncur seenaknya.

0 komentar: