Kepingan 84

//Cinta Lainnya : Ibu Bagian 2//

Kali ini, aku dan Hasa berada di perjalanan menuju rumahnya lagi. Ini kunjunganku yang kedua dalam sebulan terakhir, dan aku masih saja gugup. Sebab kali ini aku akan menginap dirumah Hasa, dan tidur bersama Ibunya. Hasa selalu punya cara untuk membuat jantungku bekerja lebih ekstra dari biasanya.

“Simpan HP nya! Jangan sering main HP di bis”
Sahut Hasa sambil menarik kabel earphone yang menjuntai dan tersambung ke ponselku. Lihat sifat protektifnya, mulai muncul. Pikirku sambil tersenyum kecut. Padahal aku hanya sedang berusaha membuat diriku rileks dengan musik disney.
“Iya, raden”
Sahutku merapikan earphone dan ponselku, lalu memasukannya kedalam tas. Bagaimanapun juga, perintah dia tidak ada salahnya.
Aku melempar pandanganku kearah jendela, mencari sesuatu agar tidak merasa bosan. Hasa sendiri mulai memejamkan matanya disampingku.
Rasanya rindu rumah.
Aku tak tahu apakah perasaan itu muncul hanya karena merasa gugup untuk menemui Ibu Hasa (lagi) atau memang karena sebulan terakhir ini aku belum pulang kerumah.
“Hei,benar tak apa-apa kalau aku menginap dirumahmu?”
Aku mengguncang tubuh Hasa, aku tahu dia belum tidur lelap. Dan memang benar, dia langsung menoleh ke arahku.
“Gak apa-apa dong! Memangnya kenapa?”
“Nanti Ibumu merasa terganggu karena harus tidur dengan orang asing kan?”
“Haha, kalian ini sama saja. Justru Ibu yang takut kau merasa begitu”
“Hmm.Oh”
Aku tak tahu harus berkata apalagi.
“Tenang saja, Ibuku sepertinya sangat menyukaimu”
Hasa seolah membaca keteganganku. Yah.. Kuharap juga begitu.
***
Aku sampai dirumah Hasa ketika menjelang siang. Seperti biasa Ibu Hasa menyambut kami dengan pertanyaan “sudah makan?” Aku hanya menjawabnya dengan menatap Hasa. Biar Hasa yang menentukan kita akan makan dimana.
“Ibu masak?” Hasa justru balik bertanya pada Ibunya.
“Ya, ada ayam bumbu kecap dan sayur sop, Ibu hangatkan dulu ya”
“Siap, bu haji”
Kami bertiga masuk keruang keluarga.
Neng Aleya, tasnya simpan saja di kamar Ibu”
Aku mengangguk dan tersenyum cerah. Rupanya Ibu sudah ingat namaku sekarang. Kegugupanku luntur seketika.
“Masakan Ibu, juara loh!” tutur Hasa padaku.
Aku mengangguk setuju, bagaimanapun juga masakan seorang Ibu akan selalu jadi masakan dengan rasa terbaik di seantero dunia.
Hanya perlu beberapa menit untuk Ibu Hasa bersemedi di dapur. Beliau kemudian kembali ke ruang tengah dengan masakan yang sudah dihangatkan. Aku dan Hasa segera bersiap menyantap makanannya.
“Ibu ayo, makan bersama”
“Ibu sudah makan tadi, ayo makan saja, Ibu mau ke toko dulu”
Hatiku sedikit mengkerut, mungkin karena dirumahku selalu dibiasakan makan bersama. Salah satu frame paling hangat yang bisa aku rasakan dirumah.
Aku mulai menyendok suapan pertamaku. Nasi dan ayam bumbu kecap buatan Ibu Hasa masuk kedalam mulutku.
“Enaak kan?”
Hasa mendefinisikan raut mukaku. Aku mengangguk cepat.
“Enakan mana sama masakan Ibumu?”
 Hasa selalu ingin membandingkan. Keduanya sama-sama enak tentu saja! Aku hanya mengacungkan jempolku sambil menikmati kunyahan demi kunyahan di mulutku.
“Masakan Ibuku sudah pasti juara sih!”
Aku mengangguk saja, tidak mau prosesi menikmati makanan ini terganggu. Ditambah lagi, aku memang sedang lapar.
“Ibu, Aleya, bilang makanannya enak, mau tambah lagi tiga piring katanya”
Ibu Hasa tahu-tahu sudah ada dibelakangku, tertawa mendengar komentar Hasa. Aku memelototi Hasa, nyaris tersedak karena pernyataan palsunya soal nambah tiga piring.
“Haha, iya makan aja yang banyak” Jawab Ibu Hasa masih tertawa anggun.
“Mmmh, iya.. enak bu..”
Aku tak bisa berkomentar lagi, sebab mulutku masih mengunyah.
“Besok mah kita masak lagi ya, tahu bejek ya sama bala bala
“Nah, siiip lah bu haji”
Ibu Hasa kemudian terduduk diruang tengah yang terhubung langsung dengan ruang makan. Hasa dan Ibunya lalu saling bercakap-cakap soal menu andalan di rumahnya yang dibandingkan dengan beberapa restoran ternama di sekitar tempat tinggal mereka. Hasa juga mulai menyusun daftar tempat kuliner yang akan dikunjungi bersamaku. Baru kali ini pikiranku begitu penuh dengan berbagai jenis menu makanan, dari yang paling umum semacam martabak, hal yang tidak ada di kotaku semacam sate padang, hingga camilan zaman dulu yang sudah jarang semacam misro dan klepon. Tapi kali ini aku dan Hasa setuju untuk menjajak top-listed kuliner baso di tempat tinggalnya.
***
Neng  Aleya sudah bertemu bapaknya Hasa?”
Sahut Ibu Hasa sambil packing olahan abon yang sudah dikeringkan. Selain menjaga toko, Ibu Hasa masih gesit membuat olahan abon untuk pelanggan setia-nya. Ini yang membuatku begitu kagum pada beliau, bahkan di usia senjanya, Ibu Hasa masih begitu bugar dan produktif. Terlebih lagi beliau selalu memperhatikan putra-putrinya.
“Belum bu.”
Jawabku singkat, mengingat hal itu termasuk kategori pembicaraan yang cukup sensitif.
“Ibu dan Bapaknya Hasa... sudah berpisah cukup lama, tapi hubungan Hasa dengan bapaknya masih baik. Cuma memang jalannya dengan Ibu sudah berbeda”
Seperti biasanya, aku hanya menyimak dengan seksama. Sebenarnya Hasa sudah menceritakannya padaku, tentang kedua orang tuanya, tentang masa kecilnya, tentang dirinya yang pindah sekolah, hingga tentang Ibunya yang berjuang sendirian dan berbagai pengalaman Ibunya dengan bermacam-macam orang. Tapi mendengarkan detil cerita yang sama dari sudut pandang Ibunya, membuatku merasa benar benar ditarik ke kehidupan masa lalu Hasa.
Seperti ada gambaran dimensi baru yang muncul didepanku, seperti perputaran kenangan yang diceritakan dalam sebuah film dengan narator terbaik yang pernah ada.
Mendengarkan cerita Ibu Hasa, sambil menemaninya menjaga toko, menjadi rutinitas favoritku setiap mengunjungi rumah Hasa. Berbagai perasaan dan berbagai cerita yang disampaian Ibu Hasa, menumbuhkan perasaan baru didalam diriku.
Diam-diam aku yakin, ini adalah salah satu transformasi dari kecerdasan dan kasih sayang Hasa, bahwa dia tidak hanya sedang membuatku jatuh cinta padanya, tetapi juga pada Ibunya : orang nomor satu dalam hidupnya.

0 komentar: