Kepingan 88

//PINDAH//

Darso masih belum menyerah. Aku dipanggil ke kantornya hanya untuk (lagi-lagi) membahas takdir Tuhan. Sesekali, di sela-sela bicaranya soal penyerahan diri pada Tuhan, dia tertawa garing menyebalkan. Dia mencekokiku dengan kalimat-kalimat manipulatif.
Mengatakan bahwa dia tidak punya maksud apapun padaku, namun jika Tuhan menghendakinya menjadi pendampingku, dia bekata siap dengan mantap. Sungguh, aku bukannya tidak percaya pada Tuhan. Tapi aku jelas menangkap tujuannya bukanlah tentang agama. Membujuk seseorang dengan dalih agama adalah hal terkejam yang pernah kutemukan. Aku mual sekaligus shock mendengar dalil-dalilnya. Satu-satunya yang terpikirkan oleku adalah : Aku ingin menceritakan semuanya pada Hasa.
Hasa : [Dia tidak bisa dibiarkan Aley. Obsesinya tinggi. Kurasa kau harus pindah asrama, terlebih lagi dia yang merekomendasikanmu asrama itu. Terlalu berbahaya]
Hasa dengan segala antisipasinya selalu memikirkan dua, bahkan tiga kali lipat langkah yang lebih jauh. Aku, yang besar dan terbiasa di lingkungan acuh dan tidak peduli, untuk pertama kalinya bertemu dengan orang dengan antisipasi sejauh itu. Kupikir itu terlalu berlebihan.
Hasa : [Aku akan mengunjungimu, kau harus pindah]
***
Disinilah aku bersama Hasa. Dia benar-benar datang mengunjungiku dan mengurusi kepindahan asrama tempat tinggalku. Seorang bapak muda menyerahkan sebuah kunci kamar pada Hasa, dia sempat memberi tahu beberapa fasilitas dan hal yang berkaitan dengan asrama, aku hanya mendengarkan tanpa mencermatinya. Pikiranku tercecer entah kemana.
“Baiklah, kepindahannya di mulai tanggal dua awal bulan ya!” 
“Baik terima kasih pa”
Hasa menjawab pernyataan bapak kosan, mewakiliku.  Aku masih mencerna apa yang sedang terjadi sejak aku dipanggil Darso.
"Ingat Lea, jangan ada teman kerja yang tahu soal kepindahanmu. Jangan biarkan seorang laki-laki pun masuk ke asrama baru mu. dan untuk perizinan kepindahan asrama kantor, bilang saja kau pindah bersama saudara. Pokonya jangan sampai Darso bisa mencari tahu soal tempat tinggalmu sekarang, oke?"
Aku mengangguk saja.
***
Sorenya, Tana mengunjungiku. Dia  juga tahu permasalahan Darso yang sedang menggila hanya karna hormonnya sedang mendidih. Tana lebih merasa bersalah, sebab dia yang mengenalkanku pada Darso.
“Ah jadi ini Hasa”  Sahut Tana awkward. Ini pertama kalinya dia bertemu langsung dengan Hasa. Terakhir kali ia berkomunikasi dengan Hasa adalah ketika ia memaki Hasa yang sudah mekhatamkan (perjanjian) hubungan denganku.
Tapi tanpa aba-aba, mereka berdua mengadukan kedua tangannya melakukan high five sambil tertawa. Seakrab itukah? Perasaanku ditarik dan mendadak berubah menjadi euphoria. Peduli setan soal Darso, kedua orang yang ku sayang, sekarang melakukan high five!
Akhirnya aku, Tana, Nara (teman dekat Tana yang juga kenal Darso) juga Hasa makan bersama sambil bergibah merundingkan tindakan Darso.
“kurasa sebaiknya kau bilang saja pada istrinya Lei! Sudah gila itu!” Tana menggebrak meja.
“Tapi masalahnya akan membesar kalau begitu.” Nara berfikir sambil memegang dagu.
“Dia seperti psikopat ya.. haha”  Hasa hanya mengomentari pembicaraan Tana yang menggebu-gebu.
“Kurasa besok kau tidak usah masuk kerja Lei! Aku takut dia macam macam!”
Emosi Tana menular padaku, aku yang tadinya merasa tak peduli, dan hanya merasa muak juga kesal, mulai merasa takut pada ulah Darso. Kurasa ambil cuti kerja merupakan ide bagus. Lagi pula aku perlu menata kembali pikiranku soal apa yang terjadi.
Aku mengirimkan pesan perizinan untuk cuti pulang selama dua hari di hari Kamis dan Jumat. Dengan begitu, aku bisa punya long weekend yang cukup untuk merefresh kembali pikiranku. Sudah terlalu banyak yang terjadi sejak kepindahanku ke kota ini, bahkan Kuro…
Aku menggelengkan kepalaku, menatap Hasa dan Tana yang mulai akrab berbicara. Menyenangkan.
“Hei..aku kebelakang dulu ya”
***
Aku mencuci muka sambil menyamarkan air mata yang lagi-lagi mengalir semaunya. Entah kenapa tiba-tiba aku menangis begitu saja. Kupikir stok air mataku sudah habis karena akhir –akhir ini terlalu banyak menangis. Sejak kapan kau jadi cengeng begini Lea?  Aku melihat bayanganku di cermin. Berantakan.
Apa aku menangis karena senang melihat Tana dan Hasa ada disini?
Apa aku menangis karna terharu melihat Hasa yang berusaha melindungiku?
Apa aku menangis karena Kuro tidak ada?
Apa aku menangis karena kesal dan lelah pada tingkah Darso?
Aku tak paham, terlalu banyak emosi yang berkecamuk di benakku. 

0 komentar: