Kepingan 90

//DIANTARA EGO DAN PERCAYA//

Tingkah Darso mulai menampakkan taringnya. Dia memanggilku keruangannya dan bulu kuduku dibuat berdiri mendengarkan kalimat-kalimatnya.
“Mungkin sebenarnya pertemuan kita itu garisan takdir Tuhan yang lebih rinci, sebab kulihat kau sangat cocok dengan karakterku”
Aku baru menyadari, dia ternyata manusia naif yang sedang menggila, tapi aku lebih memilih tenang dan diam daripada harus memprotes pernyataan absurdnya. Bagaimanapun juga, dia atasanku. Aku tak ingin hal bodoh semacam ini meributkan urusan pekerjaan.
“Kau tahu? Kurasa kau harus menyerahkan perasaanmu pada Tuhan, agar kau bisa menyadari bahwa kita memang ditakdirkan”
“Tidak, darso”
Kau gila? Kau bahkan sudah menikah dan masih bertingkah seperti ini!?
“Jangan terlalu cepat menyimpulkan kata tidak, kita tidak tahu soal takdir Tuhan bukan?”
Mendengarnya, perutku terasa ingin memuntahkan lagi sarapanku. Aku muak. Tapi kurasa aku tak berhak merendahkan sebegitunya. Setidaknya dia manusia, dan dia bahkan pernah mengajariku banyak hal. Kupikir dengan mengabaikannya sudah cukup.
***
Kuro setuju denganku, mendiamkan dan mengabaikan Darso, akan membuatnya berhenti dengan sendirinya. Tapi Hasa tidak, dia percaya bahwa Darso lebih buruk dan berbahaya dari yang aku perkirakan. Jika menurutku Darso hanya bertindak bodoh akibat  perasaan emosional, menurut Hasa dia justru akan bertindak emosional karena bodoh. Atasanku itu, tiba-tiba menjadi pematik pertengkaran diantara Kuro dan Hasa. Aku diapit keduanya.
Hasa : [Pokoknya kau harus merespon sesuai dengan yang aku katakan, dan kau harus mengabariku setiap detail tentang tingkahnya!]
Dia sedang mengaturmu lagi! Bukankah tidak sepantasnya dia bahkan mengatur responmu?Dia sendiri sama seperti Darso sedang berusaha merubahmu!”
Hasa : [Ya tuhan Lea! Kenapa kau selalu berbohong sih!? Cerita yang kau katakan padaku selalu terpotong-potong lalu berubah-ubah!  Kau ingin aku tak percaya padamu?]
Haha. Dia memang sudah tak percaya padamu Lea. Lihat! Dia bahkan bertingkah layaknya detektif, mencari-cari kesalahan kecil darimu!”
Hasa : [Berhenti berkomunikasi dengan orang sekitar Darso! Meskipun itu Tana. Darso bisa saja memanfaatkannya juga untuk mengganggumu]
Great! Sekarang dia juga membatasi hubungan sosialmu, dia bahkan tak menghargai teman-temanmu yang kau anggap berharga, apa sih yang kau harapkan Lea?”
Bukan hal yang mudah untuk menahan air mata di situasi seperti itu. Perasaanku, pikiranku dan tenagaku terkuras habis untuk hal yang bahkan tak aku pahami. Disisi lain, Darso terus merong-rong mengganggu setiap waktu istirahatku. Kepalaku rasanya dihantam gada terbesar yang pernah ada.
Hasa : [Apa apaan? Lihat Aley polamu selalu sama saja, kau tak pernah belajar. Kau selalu berbohong, membuatku ragu. Lalu jika aku marah padamu, kau justru mulai meluap luap menyalahkanku dan lebih marah padaku! Tapi saat aku memintamu cerita kau justru diam]
Sudahlah Lea. Hentikan saja. Sudah kubilang dia tak mempercayaimu. Dia bahkan tak paham cara menenangkanmu. Aku tak mau melihatmu seperti dulu lagi atau bahkan lebih parah dari itu. Dia bahkan tak menjagamu sebagai perempuan, mengertilah Lea. Kau lebih baik tidak berhubungan lagi dengannya”
Aku berada di nadir.
Aku merebahkan diriku dengan handuk dingin di kepalaku. Semalaman aku membiarkan air mataku meluncur sepuasnya sambil meredam teriakanku yang tak jelas hingga terlelap.

0 komentar: